Selasa, 10 September 2013

Sampai Membingkai Tali Silaturahmi


Penampilannya sederhana dan bersahaja. Cara bicaranya pun biasa saja. Terkesan tak ada yang istimewa darinya. Namun siapa nyana, pria pengembara bersepeda keliling Indonesia ini bukan orang biasa-biasa saja. Ia ingin mewujudkan mimpinya membingkai benang silaturahmi dari ribuan kilometer yang dikayuhnya. Dialah Muhammad Yusuf pecinta gowes dari Payakumbuh.


Yusuf ikut Gowes Spektakular
Acara Gowes Spektakuler gelaran Kaltim Post di Lapangan Merdeka akhir Januari 2013 lalu dipadati ribuan penggembira sepeda. Mereka ada yang datang dari Samarinda, Bontang, Tenggarong, Penajam Paser Utara, Banjarmasin, dan pesepeda tuan rumah Balikpapan. Namun boleh jadi tak banyak yang tahu, kalau di antara ribuan pengayuh sepeda tersebut di antaranya adalah Muhammad Yusuf. Ia salah satu sang pengembara sepeda keliling Indonesia asal Payakumbuh, Sumatera Barat.

Kebetulan saya sedang berada di Balikpapan, jadi sekalian aja ikut Gowes Spektaluer ini, ujar pria kelahiran 10 Maret 1964 ini ketika membuka perbincangan dengannya di sela-sela penarikan doorprize Gowes Spektakuler. Saya pun mempersilahkan Yusuf untuk naik ke podium untuk sesi foto. Podium ini memang dibuat panitia untuk foto komunitas sepeda peserta Gowes Spektakular yang menyediakan hadiah mobil tersebut.

Itu pertemuan pertama saya dengannya. Pertemuan kedua di lobby Gedung Biru Kaltim Post, Jl Soekarno-Hatta, Balikpapan. Saat itu Yusuf siap-siap untuk meneruskan perjalanannya ke ibukota provinsi, Samarinda. Ia tetap bersepeda dari Balikpapan-Samarinda yang jaraknya seratus kilometer lebih.
Bila kawan-kawan komunitas MTB Balikpapan berhasil menempuh empat jam lebih bersepeda dari Balikpapan ke Samarinda, tentu tidaklah  demikian Yusuf.  Kalau saya gak ada target berapa jam sampainya. Nyantai aja, yang penting sampai tujuan. Kalau letih, ya istirahatlah,katanya enteng.

Yusuf siap-siap gowes ke Samarinda
Balikpapan adalah kota pertama di bumi Kalimantan yang disinggahinya. Setelah Balikpapan dan Samarinda, ia mengayuh sepedanya menuju Bontang, Tenggarong dan Tarakan, dan beberapa kabupaten lainnya. Setelah dari Kalimantan, Yusuf meneruskan perjalanan ke Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan menyeberang kembali ke kepulauan Riau.
Sudah ribuan kilometer dikayuhnya. Yusuf hanya mengandalkan sepeda Wimcycle biru yang dilengkapi single crank, dan enam gir belakang. Grupset sepedanya sangat sederhana. Tak ada perlengkapan khusus lainnya. Namun ia selalu membawa bekal ban dalam. Menurutnya ban dalam sangat penting untuk perjalanan jauh seperti yang ia lakukan.

Sudah berapa kali ganti ban dalam? ‘’Wah sudah gak kehitung lagi. Saat di Flores saja, sudah yang keseratus dua puluh satu, terang pria yang mengaku cucu dari seorang veteran ini. Yusuf sudah sembilan kali mengganti ban luar sejak memulai perjalanannya 25 Desember 2008 silam. Sepeda yang dibelinya pada 19 Desember 2008 tersebut dihias dengan pelat bertuliskan Petualang dari R 1 AU, serta bendera Merah Putih. Selebihnya perlengkapan penunjang, seperti onderdil, alas tikar, serta tas yang isinya sejumlah dokumen dan buku perjalanan, seperti buku kesan pesan.

Hingga bincang dengannya Januari 2013 lalu, Yusuf mengaku sudah menyimpan 8 buku pesan dan kesan dari para perwira kepolisian, 9 buku dari bintara, tiga buku lapor tiba di setiap kepolisian, sepuluh map dokumen umum, serta dokumen khusus dari kepolisian ada 9 map.
Apakah buku-buku dokumen itu selalu dibawa dalam perjalanan? Oh tidak. Kalau buku sudah penuh, dan sudah tak mungkin dibawa, segera saya kirim ke rumah, ujarnya.

Buku laporan kedatangan
Apa sebenarnya misi Yusuf mengembara keliling Indonesia dengan bersepeda? Toh bukannya sudah banyak dilakukan oleh petualang pendahulunya?
Memang sudah banyak pengeliling Indonesia seperti saya. Tapi banyak juga yang kurang memperhatikan  pencatatan dan dokumentasi. Saya ingin menjadi orang pertama yang tertib administrasi. Saya mengikuti segala prosedur untuk bertemu dengan para pejabat setempat, tegasnya.

Empat misi utama yang diembanYusuf, yakni mengampanyekan perpolisian masyarakat, budaya membaca, penghentian pemanasan global, dan bersepeda itu sehat.Memang misi saya kedengarannya sederhana, dan kadang sering dianggap remeh bahkan diabaikan banyak orang, ujarnya.

 Setiap di kabupaten atau kota yang saya singgahi, saya selalu minta dukungan para pejabat baik Wali Kota, Kapolres atau Kapolda berupa tanda tangan atau stempel sebagai legalitas bahwa saya sudah sampai di wilayah tersebut,terang alumnus Universitas Riau, jurusan Fisipol Administrasi Negara tahun 1991 ini. 

Buku kesan dan pesan
Ia memulai petualangannya dari Teluk Kuantan, Desa Kampung Baru RT 01 RW 01 Kecamatan Tuan Tengah, Kabupaten Kuansing. Dari kota asalnya itu duda beranak satu ini berangkat ke arah selatan Sumatera, lalu ke Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, lalu ke Nusa Tenggara Timur.
Setelah transit di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, Yusuf menyeberang ke Papua dan bersepeda ke Fakfak serta 35 kabupaten lainnya. Setelah kurang lebih 10 bulan berada di Papua, dia beranjak menuju Maluku Utara kemudian ke Sulawesi hingga Kalimantan. Balikpapan adalah kota ke-339 yang dikunjunginya.

Setelah dari Kalimantan, pria berkacamata ini harus menyambangi delapan provinsi lagi, antara lain kepulauan Riau, Aceh, Medan, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Target saya pada awal 2014 perjalanan saya mengelilingi Indonesia selesai, tandas mantan wartawan yang sudah malang melintang selama 20 tahun di berbagai media lokal tersebut.

Dari ribuan kilometer yang ditempuhnya tidak semua melulu dikayuh dengan sepeda. Bila tidak mungkin dilintasi, ya harus menggunakan transportasi lain, seperti naik ferry untuk menyeberang antar pulau. Namun selama itu daratan dan terbentang akses jalan umum, maka sudah pasti Yusuf melewatinya dengan sepeda.

Selama perjalanan tidur dimana? Ya gak tentu. Dimana saja bisa. Saya paling gak repot untuk urusan tidur, tukasnya. Kadang Yusuf menginap di kantor polisi, di bawah pohon, penginapan, emperan toko, dan ditawari menginap di komunitas pencinta alam dan di komunitas sepeda setempat. Kalau dengan komunitas paling gampang, kodenya hanya salam satu aspal, ujarnya seraya tertawa lepas. 

Sinopsis membingkai benang silaturahmi

Yusuf juga tak jarang diundang oleh komunitas sepeda untuk memberikan kesan dan pengalamannya selama perjalanan. Termasuk ketika berada di Bontang, ia diundang oleh salah satu komunitas MTB. Begitu juga saat di Balikpapan diundang oleh mahasiswa Uniba.

Ada yang menggoda pikiran saya saat bincang denganYusuf, apakah ia tidak takut bersepeda sendirian?  Saya tidak takut hantu. Yang saya takuti hanya Tuhan, katanya. Sekali waktu Yusuf juga berhadapan dengan binatang buas, seperti harimau, dan beruang. Lantas apa yang harus dilakukannya? Kalau sudah begitu, saya diam tak banyak bergerak sambil mempersiapkan senjata seperti pisau. Kemudian mengamati gerak-geriknya sampai dia pergi. Sebab kalau kita lari, binatang buas seperti itu malah bisa mengejar. Wah, bahaya kan! ujarnya terkekeh.

Yusuf membiayai sendiri perjalanannya keliling Indonesia. Namun ia mengakui terkadang ada juga bantuan dari pihak lain, namun ia enggan menyebut nominalnya. Pokoknya adalah.

Selain penjelajahannya dengan sepeda Yusuf ternyata juga rajin menulis. Ia sudah membuat 378 judul puisi dari 500 karya puisi yang ditargetkannya. Ia pun sedang menyusun proposal untuk membukukan puisi-puisi tersebut kepada Kapolri. Judul buku yang direncanakannya bertajuk, Bersepeda Keliling Indonesia : Dari Sektor ke Resor Membingkai Benang Silaturahmi. 

Apa yang paling berkesan selama perjalanan? Wah banyak sekali. Sulit juga saya ceritakan. Tapi pernah selama perjalanan Lebaran pertama tahun 2009 saya habiskan bersama Jokowi di Surakarta, 
Solo,kenangnya.


M Yusuf

Ngobrol dengan Yusuf asyik juga. Tapi ada yang ingin saya tanyakan sejak awal. Apakah gak capek gowes ribuan kilometer? Gak juga, nyantai aja, jawabnya enteng.
Wah bagi dong resepnya? Yang penting hindari trauma lutut. Kalau bersepeda usahakan menggunakan bobot dan gerak tubuh, Jadi tidak hanya mengandalkan dengkul, kata Yusuf sembari mencontohkan gerakan tubuh yang dimaksud. Oalah begitu toh

Ternyata benar juga nasihat Yusuf. Setelah saya praktikkan sarannya, bersepeda sejauh 100 Km pun tembus. Terimakasih Pak Yusuf. Senang sekali bisa berbincang dengan Anda. Selamat menempuh perjalanan, semoga sukses selalu (*)



Saya sempat terkejut membaca komen dari kawan blogger emerzet615 tentang “sepak terjang” M Yusuf, atas dugaan kasus yang menimpanya. Semoga hal seperti ini tak terjadi lagi kedepannya.
Berikut ini kutipan tulisan yang dipetik dari blog atjehlink.com tersebut.

Akhir ‘Petualangan’ Pesepeda dari Riau


Banda Aceh – M Yusuf (55), pria asal Riau yang mengaku sebagai pesepeda keliling Indonesia diamankan aparat Polsek Syiah Kuala akibat dugaan tindak pidana pencurian yang dilakukannya di Sekretariat Mapala Hukum Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh, Jumat (5/12/2014) malam.
Tertangkapnya pelaku berawal dari hilangnya satu unit telepon genggam milik salah seorang mahasiswa FKIP Unsyiah yang berkunjung ke Sekretariat Mapala Hukum Unsyiah. Malam itu, pelaku juga kebetulan sedang berada di sana.
Menurut Agus, anggota Mapala Hukum Unsyiah, setelah memeriksa setiap sudut ruangan sekretariat, pihaknya menemukan telepon genggam tersebut di dalam tas milik pelaku. “Pelaku berdalih telepon genggam tersebut hanya ia simpan dan rencananya akan dikembalikan saat akan pulang.”
Selanjutnya, kejadian itu dilaporkan ke Polsek Syiah Kuala. “Setelah digeledah oleh polisi, bersama tersangka juga ditemukan sejumlah telepon genggam, handycam, laptop,dan barang-barang berharga lainnya,” kata Agus.
Menurut pengakuan pelaku, ia berencana memecahkan rekor MURI dengan mengumpulkan tanda tangan alumni Akpol yang bertugas di seluruh Indonesia. Perjalanan ‘Sang Petualang’ yang mengaku telah enam tahun bersepeda keliling Indonesia itu akhirnya terhenti akibat perbuatannya tersebut. (bink)

M Yusuf (55), pesepeda asal Riau saat dibawa ke kantor polisi terkait dugaan pencurian di area Kampus Unsyiah, Jumat (5/12/2014) malam.




Nyaris Bunuh Diri, Pesepeda Asal Riau Kini Telah Bebas

Banda Aceh – Kasus hukum yang mendera M Yusuf (55), pesepeda keliling Indonesia asal Provinsi Riau yang ditangani pihak Kepolisian Sektor (Poldek) Syiah Kuala berakhir damai. (Baca: Akhir ‘Petualangan’ Pesepeda dari Riau)
Kapolsek Syiah Kuala melalui Kanit Reskrim Polsek Syiah Kuala, Bripka Iwan Wahyudi kepada AtjehLINK, Senin (15/12/2014), menuturkan, pihak korban telah membatalkan laporan atas kasus pencurian yang dilakukan tersangka.
“Ada itikad baik dari kedua belah pihak untuk berdamai. Kami dari pihak kepolisian menilai kasus ini merupakan tindak pidana ringan sebab barang yang dicuri harganya tidak sampai Rp 2,5 juta. Jadi bisa diselesaikan secara damai. Kami juga mengapresiasi itikad baik tersebut.”
Tersangka juga sempat depresi dan berencana akan melakukan bunuh diri dengan meminum cairan pembersih lantai karena sangat menyesali perbuatannya. “Beruntung petugas kami segera menenangkan tersangka. Semoga kasus ini bisa menjadi pelajaran untuk saudara M Yusuf,” imbuhnya.
“Saat ini saudara M Yusuf sudah berangkat ke medan. Dia berangkat Sabtu (13/12) lalu setelah selama seminggu lebih kita amankan di Mapolsek untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan,” tambah Iwan.

Seperti diberitakan sebelumnya, M Yusuf yang menyebut dirinya sang petualang bersepeda dari Riau ditahan pihak kepolisian setelah kedapatan mencuri satu unit telepon genggam milik mahasiswa FKIP Unsyiah yang sedang berkunjung ke Sekretariat Mapala Hukum Unsyiah. (bink)



Rabu, 04 September 2013

Dokter Goweser Mahir Manuver


Hobby sepeda gunung memang mewabah di mana-mana. Tak pandang usia, profesi, jabatan dan status sosial. Bila ada event gowes offroad bareng, peminatnya selalu tak sedikit. Pecinta MTB pun tumplek blek. Tetapi ada suasana berbeda ketika gowes bareng dengan para dokter. Kawasan Hutan Lindung Sungai Wain pun menjadi santapan.


Foto bareng di Gedung Biru sebelum gowes
Ratusan dokter bedah seluruh Indonesia berkumpul di Balikpapan, Kalimantan Timur. Mereka mengikuti sederet rangkaian kegiatan simposium. Dalam jumlah puluhan dokter di antaranya ternyata adalah penggila sepeda gunung. Selain mengikuti kegiatan dalam kaitan profesi, mereka juga menjadwalkan untuk gowes silaturahim sesama dokter. Karenanya mereka sengaja memboyong tunggangannya dari kota masing-masing untuk mencicipi trek hutan Kalimantan.

Sungguh tak mampu menolak ketika kawan Ocky Syahputra dari Blue Bike Community (BBC) Kaltim Post meminta bantuan untuk mencarikan rute offroad untuk goweser dokter bedah ini. Perbincangan siang itu tak panjang lebar. Hanya ingin trek offroad yang lumayan menantang. Tak disinggung juga, rute panjang atau pendek?

Pak Tatang angkat bendera start
Sepekan sebelum hari H gowes bareng tersebut, saya bersama enam kawan dari Hobic, komunitas sepeda pekerja kesehatan di rumah sakit Balikpapan, mencoba membuka rute gowes untuk para dokter bedah ini. Pilihannya adalah Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW). Bagi pegiat MTB Balikpapan, rute HLSW ini bukan trek asing. Mereka sering menjajal.

Pagi mengambil start di halaman parkir Gedung Biru Kaltim Post, Jl Soekarno-Hatta, kami mulai menelusuri trek onroad hingga offroad. Blusukan menelusuri jalan setapak hingga menerebas hutan, akhirnya kami tembus juga di waduk HLSW, yang berada tak jauh dari aliran Sungai Wain. Sungai ini boleh dibilang masih rawan, pasalnya buaya ganas masih berkeliaran. Beberapa waktu lalu, korban nenek Sari tewas disambar buaya di sekitar ini. Jadi perlu juga sedikit waspada!

Sukses selesaikan etape pertama
HLSW berada di Km 15 jalan raya Soekarno-Hatta arah kota Samarinda. Namun kami tidak melewati jalan raya, tapi menempuh rute offroad. Dan ke HLSW masuk dari pintu belakang.
Dalam benak kami ketika itu, rute yang ditawarkan kepada para dokter ini adalah rute untuk klasifikasi goweser pemula. Karenanya, rute memang dibuat tak kelewat menantang. Lagian mendapat informasi para dokter goweser ini sebagian berusia di atas limapuluh tahun.

Bersama rekan Umar Baki dari BBC, pagi sepekan kemudian saya menjemput para dokter ini di perumahan Toronto Balikpapan Baru, di kediaman Dr. Aspian Noor Arbain SpOG. Kebetulan mereka menitipkan sepedanya disini. Dengan bantuan truk dari STSJ (dealer resmi Yamaha), kami segera membawa sepeda tersebut ke Gedung Biru Kaltim Post.
Siap-siap etape dua full offroad

Satu persatu sepeda saya naikkan ke truk, dibantu seorang dokter dan sopir truk. Saat itu saya amati sepintas performa sepeda mereka (tanpa harus menyebutkan merek sepeda) adalah klasifikasi sepeda all mountain.

Ada juga yang menggunakan wheelset ukuran 29. Penampilan frame sebagian sepeda pun tampak kusam akibat sering menjajal medan offroad. Terkesan kalau mereka adalah goweser sejati. Itu juga bisa dilihat dari onderdil pendukung yang nempel di sepeda mereka!

Atur strategi taklukan tanjakan
Start dari parkiran Gedung Biru minggu pagi 24 Maret 2013 pukul 07.30 Wita, bendera dilepas oleh Pak Tatang Setyawan direktur Kaltim Post. Mulailah kami gowes bersama. Para dokter ini ditemani kawan-kawan Hospital Bike Community Balikpapan  dan dari berbagai komunitas yang sebagian besar bergabung dengan Rabu Gowes. Sementara dokter goweser ini didominasi dari Smansa Cycling Club (SCC) Makassar serta beberapa dokter bedah asal kota kembang Bandung.

Selalu saling bantu
Rombongan goweser mulai mengayuh tunggangan masing-masing dengan penuh semangat, kecepatan antara 20 hingga 30 km per jam. Sepeda mereka awalnya mencium trek aspal kurang lebih tiga kilometer. Setelah memasuki etape dua di daerah perumahan Griya Kariangau Baru Km 5,5, mereka mulai mencicipi jalur makadam sepanjang kurang lebih 2 kilometer. Trek sedikit berlumpur. Asyik juga.

Rute kemudian melintasi trek bukit-bukit tanah liat yang tembus ke Kawasan Industri Kariangau (KIK). Jalur lintasan kemudian melewati kawasan HLSW. Disini goweser menelurusuri single track yang kiri-kanan dihiasi hijau hutan. Usai disuguhi trek yang lumayan menantang, goweser akhirnya mencapai titik finish di pintu gerbang Kebun Raya Balikpapan sekitar pukul 9.30 Wita. 


Biar meler tetap enjoy
Jujur saja, para dokter bedah yang cukup berusia ini benar-benar goweser andal. Tak sedikit kawan-kawan kami dari komunitas MTB Balikpapan harus keteteran mengikuti kecepatan mereka mengayuh sepeda. Yang saya perhatikan, mereka sangat familiar dengan sepedanya dan terkesan terbiasa dengan trek offroad, bahkan mahir bermanuver di tikungan-tikungan tajam dan agak curam. Luar biasa! Dan benar, mereka yang lebih awal mencapai titik finish.

Sampai di titik garis akhir ini mereka langsung menyantap sajian dari kami, yaitu pisang Ambon, ubi jalar, buah semangka, dan nasi kuning. Sebagian besar dari mereka mengaku puas dengan suguhan rute menantang ke HLSW ini. Namun diakui jaraknya kurang jauh. Astaga!

Menyusuri  tepi waduk di Sungai Wain
Setelah rehat sebentar kemudian berembug, sepakat rute ditambah. Sedianya finish sampai di gerbang Kebun Raya Balikpapan, dan sepeda diangkut kembali dengan truk ke kota. Namun kenyataan tidak demikian. Mereka sepakat kembali ke kota dengan menggenjot sepeda. Okelah kalau begitu.
Dipandu kawan goweser Hengky dari Mudhog dan Pandji Arga dari Balikpapan Free Ride, para dokter bedah ini kembali ke kota melintasi jalur offroad. Sebagian rute yang dilintasi sama seperti jalur semula. 


Sampai di finish bincangkan trek
Koordinator Hospital Bike Community Balikpapan Reza Julkhair mengakui sangat puas dengan rute ini. Kawan-kawan dokter bedah dari Makassar, Samarinda, dan Bandung juga sangat senang,katanya.
Hal senada juga dikatakan oleh perwakilan Smansa Cycling Community (SCC) Makassar.  Treknya sangat bagus, kawan-kawan dari Makassar juga sangat senang, pokonya mantap, kata perwakilan SCC Abuhaer.

Setelah sampai di parkiran Gedung Biru, salah satu dokter bedah memberikan kenang-kenangan jersey SCC Makassar kepada Alamak, goweser tertua di Rabu Gowes yang berusia 72 tahun.


Foto bareng di depan Kebun Raya Balikpapan
Gowes bareng ke HLSW hari itu lumayan memberikan kesan. Dari sini kami mendapat pelajaran banyak, terutama dari para goweser dokter ini. Termasuk nasihat-nasihat bersepeda yang sehat dan baik. Lumayan dapat ilmu. Terimakasih banyak pak dokter. Kami sangat senang bersepeda dengan Anda. Oh iya, tengkyu banget Mas Ocky ya atas foto-fotonya.  (*)

Senin, 26 Agustus 2013

Ragu Melaju di Tangkuban Perahu

Baru tiba di Bandara Husein Sastranegara
Gowes bareng di kota sendiri Balikpapan, rasanya sangat berbeda bila dibandingkan bersepeda di kota lain. Dan ini benar-benar dirasakan ketika menjajal Tangkuban Perahu. Bila di Kalimantan cuacanya panas, di  kota kembang Bandung justru sebaliknya. Benar-benar dis-orientasi. Apalagi tunggangannya gak familiar, lantaran harus menyewa sepeda.


(Hari Pertama)
Siap-siap makan siang di Ampera
Gowes bareng prakarsa Kaltim Post Group ke Bandung selama tiga hari kali ini diikuti kawan-kawan goweser dari Balikpapan, Samarinda, dan Penajam Paser Utara. Total ada 22 orang.

Kami menumpang Lion Air. Penerbangan menuju Bandara Husein Sastranegara, Bandung ditempuh dalam waktu kurang lebih 3 jam dengan transit 25 menit di Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin.
Saat check in di Bandara Sepinggan Balikpapan, kami tidak terlalu sibuk dengan tetek bengek bagasi, lantaran dari sejumlah rombongan hanya ada lima orang yang membawa sepeda sendiri. Yang lain sepakat untuk menyewa saja saat di Bandung nanti.

Menu tradisional menggugah selera
Saat landing di Bandung, masih pagi.  Udara terasa sejuk. Kami ramai-ramai foto bareng, kompak dengan t-shrit bertuliskan Gowes to Bandung di bagian dada serta Kaltim Post di bagian punggung. Masing-masing peserta dibekali empat jersey oleh panitia yang nantinya akan dipakai dalam waktu berbeda.
 
Kami disambut kawan Fahmi yang rajin saling kontak menjelang ke berangkatan, kemudian dibawa ke Hotel Grand Preanger, hotel bintang lima yang menjadi homebase selama melakoni rangkaian tur. Sebelumnya mampir santap siang di Warung Nasi Ampera di Jl Padjadjaran 133. Makanannya lumayan mengenyangkan.
Foto bareng di Dago
Jadwal gowes bareng pertama adalah gowes malam, tujuannya Dago. Setelah rehat, kami bebas memilih sepeda masing-masing. Ada 17 sepeda disiapkan panitia. Sepeda sewaan ini macam-macam jenisnya, ada yang HT, AM dengan fulsusnya, ada  juga DH komplit dengan dual crown.

Sensasi Bandung sepeda malam
Sore itu saya mendapat tugas untuk mengecek sepeda satu persatu, baik rem, grup set, ban, sampai ke handle bar segala. Semua bagus. Sepeda sewaan ini bila diperhatikan seksama, adalah milik perorangan dari kelompok komunitas. 

Namun bila diperhatikan onderdilnya, terkesankalau sepeda yang biasa dipakai untuk medan berat. Bahkan sebagian masih tampak bekas-bekas lumpur menempel di ban.  Sewanya relatif murah, berkisar Rp 160 ribu per hari.

Di cafe Ngopi Doeloe sebelum ke hotel
Kawan-kawan yang tak membawa sepeda bebas memilih tunggangannya. Sementara lima rekan kami dari Mitra Bike Samarinda justru sibuk merakit sepeda Spesialized bawaannya.
 
Mereka adalah M Rozaly, Haidar Fachmi, M Wahyudi, Rusliansyah, dan Fikri Arief Perdana. Rampung merakit sepeda, sore itu pun mereka pun langsung menjajal aspal kota Bandung. Kelimanya tampak enjoy.

Loading sepeda ke Tangkuban Perahu
Selepas magrib kami siap-siap di parkiran hotel untuk memulai gowes mengelilingi kota Bandung. Iring-iringan gowes ini  dipandu klub motor Hotel Grand Preanger. Rute yang dilewati adalah Jalan Asia Afrika-Braga-Wastu Kencana, Riau, Citarum-Diponegoro, dan Ir Juanda atau yang lebih dikenal dengan Jalan Dago.

Kami sempat berhenti di depan Gedung Sate, pusat pemerintahan Jawa Barat yang dibangun tahun 1920 untuk foto bareng. Setelah itu meneruskan perjalanan ke kawasan Car Free Day (CFD) di Dago. Ramai sekali. Tampak muda-mudi kota kembang berkumpul. Selain sekadar nongkrong, mereka juga ada yang main skateboard.

Tujuan akhir kami adalah ke kafe Ngopi Doeloe, untuk menikmati jamuan makan malam. Setelah itu kami beriringan kembali ke hotel untuk istirahat. Sebagian peserta shopping.

(Hari Kedua)
Di Gerbang Cikole Jayagiri
Jadwal gowes selanjutnya hari kedua adalah Tangkuban Perahu. Pagi itu pukul 7.30 kawan-kawan sudah siap dengan jersey, helm, dan sarung tangannya masing-masing. Usai sarapan kami naik ke bus wisata untuk menuju puncak Tangkuban  Perahu yang jaraknya sekitar 28 kilometer.

Kenapa gak gowes dari hotel ke Tangkuban Perahu? Ini yang menggoda pikiran kami. Panitia dari EO Borneo Enterprisindo memang mengatur jadwalnya demikian. Pertimbangannya, kalau gowes mendaki ke Tangkuban Perahu khawatir rombongan akan kelelahan. Karenanya diputuskan untuk downhill saja dari Tangkuban Perahu. Lebih aman.

Cikole jadi tempat latihan sepeda
Lagian jalan menanjak ke Tangkuban Perahu lumayan dasyat! Panjang tanjakannya minta ampun, dan trek seperti ini tak pernah ditemukan di Kalimantan. Bagi kawan-kawan goweser Balikpapan, tanjakan adalah hal biasa. Apalagi goweser di komunitas Rabu Gowes rajin melahap tanjakan saban minggu.  Cukup terbiasa. 

Tapi itu untuk tanjakan pendek! Lah di Tangkuban Perahu ini jalan menanjaknya puanjang banget. Ampun deh…
Biasanya tanjakan di Tangkuban Perahu ini dijadikan tempat berlatih uphill atlet-atlet sepeda di Bandung. Kebetulan di pertengahan menuju Tangkuban Perahu juga ada Cikole Jayagiri, wadah outbond dan ada tempat latihan race sepeda.

Di puncak Tangguban Perahu
Lima anggota rombongan dari Mitra Bike Samarinda plus Ashari, goweser dari Penajam memutuskan untuk mendaki Tangkuban Perahu dari hotel Preanger di Jl Asia Afrika. Mereka tidak ikut rombongan dengan bus, tapi menggenjot sepeda. ‘’Ok lah kalau begitu, ga masalah,’’ tukas Mba Awal, bos Borneo Enterprisindo.
 
Sebelumnya saya berdiskusi dengan Ashari dan menyarankan sebaiknya ke Tangkuban Perahu down hill saja, ga usah uphill. ‘’Saya mau coba,’’ ujar rekan sekamar saya di Preanger itu.

Di atas kawah Tangkuban Perahu
Pagi itu keenam goweser ini yakin akan mendaki Tangkuban Perahu dengan sepeda. Kami pun berangkat dengan bus, sedangkan 17 sepeda diangkut menggunakan pick up.
 
Kami harus mengakui semangat tempur keenam rekan kami untuk menggowes ke Tangkuban Perahu, meskipun mereka harus ‘’menyerah’’ di tengah jalan dan dijemput dengan pick up.

Hampir dua jam dari Hotel Grand Preanger bus kami tiba di puncak Tangkuban Perahu, setelah singgah sejenak di Terminal Jayagiri, untuk kemudian meneruskan perjalanan ke puncak dengan mini bus.

Beradaptasi dengan cuaca dingin
Setelah foto bareng dengan latar belakang kawah Tangkuban Perahu, kami down hill menuju Graha Ciater. Jalan on road menurun ini cukup memacu andrenalin, dengan kecematan rata-rata 40 km/jam. 
Cuaca yang dingin membuat kami tak terbiasa. Apalagi saat itu gerimis kecil mewarnai perjalanan. Embun pun membuat pemandangan kami agak sedikit terganggu.

Meskipun aspal onroad dengan track menurun tak menyulitkan kami memacu sepeda, namun diperlukan ekstra hati-hati, lantaran banyak tikungan tajam di sepanjang jalan menurun di Tangkuban Perahu tersebut. 

Meluncur ke Graha Ciater
Yang membuat kami agak kagok, lantaran kurang familiar dengan tunggangan masing-masing. Maklum sepeda sewaan. Harus cepat beradaptasi, terutama dengan system rem. Karena ada posisi rem yang berbeda dengan kebiasaan sepeda masing-masing. Misalnya, rem belakang berada di posisi kiri handlebar. Sebaliknya demikian. 
 
Rem sangat penting. Karena track-nya full menurun, maka kami benar-benar mengandalkan rem. Sebagian sepeda sudah menggunakan disc brake, tapi ada juga yang masih rim brake. Begitu juga dengan shifter, ada yang hydraulic, ada juga yang biasa. Perlu adaptasi juga.

Rehat sejenak di perkebunan teh
Tiga kawan kami terpaksa tak melanjutkan perjalanan menurun tersebut, dengan alasan khawatir dengan system rem sepeda yang ditunggangi, masih mengandalkan rim brake. Akhirnya mereka diangkut dengan pick up.

Saya termasuk yang agak ragu memacu laju sepeda. Meskipun sepeda GT merah yang saya tunggani menggunakan shifter yang sudah hydraulic dan disc brake, tapi tetap saya harus fokus hati-hati. Beberapa kali roda belakang masih bergerak ketika saya rem di tikungan tajam. Apalagi aspal jalan basah, ada tantangan tersendiri.

Menikmati udara pagi yang sejuk
Jarak dari Tangkuban Perahu ke Graha Ciater gak terlalu jauh, kurang lebih 8 kiloan. Selain on road juga melintasi offroad, jalur double track di perkebunan teh daerah Lembang . Pemandangannya lumayan indah, namun sebagian dihiasi kabut. Udaranya pun  sejuk dan dingin.

Tak butuh waktu lama kami sampai di tujuan akhir di tempat peristirahatan sumber air panas Graha Ciater. Tempat peristirahatan ini dilengkapi dengan bar, restoran, dan kolam pemandian air panas.
Setelah menyantap lalapan yang jadi menu makan siang, kami menceburkan diri ke dalam kolam air panas. Relaksasi, melemaskan otot-otot kaki yang tegang. Guyuran hujan menambah semburan uap dari kolam air panas.

(Hari Ketiga)
Jadwal gowes pada hari ketiga adalah menuju kawasan Car Free Day (CFD) di Jalan Dago.  Barangkali lantaran keletihan, gowes pagi itu tak diikuti semua peserta tur. Karenanya, ada sejumlah sepeda yang nganggur. Kebetulan sepeda-sepeda sewaan ini diparkir di lobby hotel.

Di titik Nol Bandung siap-siap gowes
Subuh itu hati saya terbersit untuk menukar sepeda. GT merah yang saya tunggangi dari hari pertama, saya tukar dengan sepeda United Patrol AMP yang di-setting seperti sepeda down hill. Tertarik saja untuk mencicipi Patrol Amp, lagian kangen dengan Patrol yang nangkring di rumah.
 
Sementara kawan-kawan rombongan masih melungker  di tempat tidur, Subuh itu pukul 5.00 waktu Bandung, saya sudah pemanasan gowes mengitari jalan-jalan utama di sekitar Asia Afrika, sampai Dago. Dua jam cukup. Karena pukul 7.00, peserta sudah harus ngumpul di lobby untuk berangkat bareng di kawasan CFD.

Usai sarapan pagi, kami mulai aksi gowes barang lagi, menuju kawasan CFD yang jaraknya relatif dekat. Hanya beberapa menit sudah sampai di lokasi yang sangat ramai tersebut. Ribuan masyarakat Bandung tumplek blek di kawasan ini untuk berolahraga. Ada yang jogging, senam pagi, bersepeda, sampai yang sekadar mejeng cuci mata. Padat sekali pagi itu.
Iring-iringan rombongan kami di CFD sempat bertemu dengan komunitas Paguyuban Sepeda Baheula Bandung. Kebetulan mereka hari itu berkumpul untuk merayakan hari jadinya yang ke-8. Kami pun berkenalan dan foto bareng. Ada suasana keakraban antara pesepeda Kalimantan dan pesepeda ontel Bandung. Sama seperti komunias sepeda ontel di Balikpapan, hari itu mereka juga mengenakan kostum-kostum tempoe doeloe. Seru juga.

Bersama paguyuban Sepeda Baheula Bandung di CFD
Mereka berkumpul untuk merayakan ultah, sekaligus merencanakan event Bandung Lautan Ontel. Wah, mantap ya. Di Bandung kabarnya sudah ada lima ribu ontelis. Luar biasa!

Sahabat Mitra Bike Samarinda
Pagi itu juga kami sempat foto-foto bareng diengan Michael Chandra, presenter RCTI yang kebetulan sedang take gambar untuk liputan Seputar Indonesia di bawah flyover Pasupati masih di kawasan CFD.

Setelah dari CFD kami meluncur ke Jalan Diponegoro untuk berbelanja di pasar dadakan tersebut, dan tentu berbelanja onderdil sepeda. Beberapa saat kemudian kembali ke hotel untuk siap-siap check out.

Lalu meneruskan perjalanan menuju Bandara Husein Sastranegara untuk terbang kembali ke Balikpapan. Tuntas sudah rangkaian tur gowes kami di awal Februari 2013 itu. Bandung asyik. Salam untuk goweser Kota Kembang. (*)