Rabu, 29 Agustus 2012

Mencari Nyali di Bendali


Sinar matahari masih hangat meraba kulit. Memaksa meneteskan peluh. Suara deru kendaraan lalu lalang di Jl Ruhuy Rahayu tak bosan meriuh sore itu. Sebagian pengendara berpacu cepat, agar segera tiba di rumah untuk rehat. Tampak dari mereka berwajah lelah.

Waduk Bendali II di Balikpapan. Ada rasa tenang.
Sepulang dari kantor sore itu, saya kembali ke rumah untuk bersiap-siap bergowesria. Tujuan bersepeda kali ini adalah Bendungan Pengendali (Bendali) II yang letaknya di Kelurahan Sepinggan, Balikpapan Selatan. Bendali untuk mengantisipasi banjir kota Balikpapan ini diresmikan oleh M. Jusuf Kalla, tanggal 9 Februari tahun 2007.

Waduk seluas 37,65 hektare ini sengaja dibuat pemerintah kota, dengan maksud untuk menampung luapan air, yang bila debet hujan tinggi dan berlangsung lebih dari empat jam berpotensi akan terjadi banjir di kota, terutama di Kelurahan Sepinggan. Aliran sungai kecil dari waduk ini hilirnya di Sungai Sepinggan, persis di samping Bandar Udara Sepinggan.

Trek menuju Bendali II dengan sepeda tidak terlalu sulit. Jaraknya tak begitu jauh bila ditempuh dari Balikpapan Sport and Convention Center (BSCC) atau sering disebut Dome yang terletak di Jl Ruhuy Rahayu, Kelurahan Gunung Bahagia. Namun bila mengambil rute dari jantung kota, terasa agak jauh. Dari bilangan The Plaza Balikpapan misalnya, tentu dibutuhkan tenaga ekstra. Sebab, untuk menuju ke Bendali II, ada beberapa jalur yang mesti dilewati. Sebut saja, Jl Jenderal Sudirman, Jl MT Haryono, kemudian menuju Jl Ruhuy Rahayu.

Ada pedesterian, taman dan gazebo di sekitar Bendali II
Secara jarak sebenarnya tak begitu jauh. Sekira 15 km. Namun medan yang harus ditempuh lumayan berat. Setidaknya, ada dua jalan tanjakan di Jl MT Haryono yang menghadang, dan satu jalan menanjak di Jl Ruhuy Rahayu. Namun tanjakan ini bukan menjadi masalah berarti bagi mereka yang rajin bersepeda jarak jauh.
Untuk memperpendek jarak tempuh, ada alternatif lain. Yaitu rute berawal dari Mal Balikpapan Baru yang terletak di kompleks perumahan elit Balikpapan Baru. Kalau mau lebih dekat, bisa mengambil ancang-ancang dari BSCC atau Dome di Jl Ruhuy Rahayu. Jaraknya cukup pendek. Dan saya mencoba di jarak pendek ini.

Untuk menuju Bendali II dari Dome, kita hanya butuh waktu sekira 15 menit. Dari Jl Ruhuy Rahayu depan Dome, menuju Jl Abdi Praja (di belakang SMA Negeri 5), kemudian mengarah ke perumahan Perusda. Ke arah kanan, ada sedikit tanjakan untuk kemudian menyisir Jl Delima. Setelah itu  arah menurun menuju Jl Safir VI, melewati perumahan penduduk.
Pintu air dan pengukur ketinggian air
Dari sini akan nampak jalan kecil menanjak. Lagi-lagi bagi yang biasa memacu sepeda bukan menjadi persoalan. Tentu, bagi yang tidak biasa, mau tak mau harus menuntun sepedanya untuk menuju bukit di mana pintu gerbang Bendali II berdiri kokoh. Saya termasuk yang tak mampu. Meski jarak dari Dome ke Bendali II relatif pendek, namun cukup memeras peluh hingga bercucuran.

Udara di sekitar Bendali II cukup segar. Baik pagi hari maupun sore hari. Masyarakat sekitar banyak memanfaatkan waduk ini untuk jalan-jalan sore. Ada juga yang sekadar menyalurkan hobinya memancing. Tak jarang juga dimanfaatkan oleh para fotografer profesional untuk dijadikan objek Prewedding. Ada pula yang syuting untuk video klip. Tahun 2009, saya pernah memanfaatkan pemandangan waduk ini untuk stock shoot sebuah  video klip kelompok musik lokal.

Sebelum menjadi Bendali, lahan di sekitar ini merupakan dataran rendah yang diapit dua bukit. Kini, setelah Bendali II dibangun, tempat ini dapat dijadikan objek wisata. Sayangnya, wadah ini belum tersentuh maksimal oleh instansi berkompeten. Bentangan bendungan yang dijadikan jalan memanjang dengan pagar kiri-kanan juga dapat dijadikan untuk objek foto. Begitu juga dengan taman di bawah bendungan, dimana ada sejumlah tanaman dan pos-pos kecil. Sayangnya kurang terawat. Ilalang subur merambat di sana-sini.
Bendali II ini mempunyai tiga pintu air, yang dapat dikendalikan sewaktu-waktu bila debet air meninggi. Batas terendah kedalaman air di waduk ini sekitar enam meter. Selain itu, di kawasan ini ada bangunan kayu semacam gazebo. Di tempat ini sering dimanfaatkan untuk acara-acara seremonial, seperti pekan penghijauan dan lain-lain. Kawasan Bendali II tersebut dibawah pengawasan atau pemeliharaan Kodim 0905/Bpp.

Selain dimanfaatkan waga sekitar RT 113 Kelurahan Sepinggan untuk memancing, air waduk juga difungsikan untuk keperluan sehari-hari. Masyarakat menggunakan pompa air, yang kemudian disalurkan ke water treatment.
Di Bendali II sebenarnya ada larangan untuk berenang. Namun tak jarang anak-anak usia SD bersenang-senang di tempat ini. Karena airnya cukup dalam, waduk ini dianggap berbahaya bagi anak-anak. Peristiwa naas terjadi 16 Desember 2009, dimana seorang bocah tewas tenggelam di tempat ini.

Pohon Mente
Pemandangan Bendali II masih asri, dikelilingi rimbun pohon dan tanaman hasil penghijauan. Letaknya juga berbatasan dengan perumahan Regency. Bila berkunjung ke tempat ini, tentu ada suasana yang berbeda. Cukup tenang, karena agak jauh dari jalan, tak ada suara deru kendaraan.
Berlama-lama di wadah ini memang ada kenikmatan tersendiri. Ada rasa damai. Namun ketika petang perlahan segera beranjak malam, suasana di sekitar waduk kian terasa sepi. Hening menghadang. Saya tak punya nyali untuk meramaikan suasana hati.

Ada cerita mistik dari warga sekitar. Di sebelah kiri gerbang Bendali II terdapat gundukan tanah dimana terdapat pohon jambu mente (jambu monyet) yang daunnya lumayan rindang. Saat proyek Bendali II dimulai, tak ada yang berhasil merobohkan pohon tersebut. Bahkan kabarnya, ada pekerja yang sakit setelah mencoba menebangnya. Walahualam. (*)

Lapang di Meriam Jepang


Minggu pagi itu cuaca cerah seperti diharapkan. Biru langit ditutupi bingkai-bingkai awan putih bergelombang. Meskipun jauh di ufuk barat mendung mencoba mewarnai, namun itu bukan berarti pertanda hujan segera datang. Rasa penasaran kian memuncak pagi itu. Ingin segera melihat meriam peninggalan tentara Jepang saat Perang Dunia II yang meletus tahun 1943. 

Meriam menghadap ke timur
 Mengambil ancang-ancang dari Lapangan Merdeka, Jl Jenderal Sudirman, lumayan berkeringat bila bersepedaria ke tempat tersebut. Melewati Jalan Yos Sudarso (Jalan Minyak), lantas menelusuri jalan Letjen Suprapto hingga ke depan Lapangan Foni, samping Plaza Kebun Sayur. Tak jauh dari situ, berbelok ke arah kanan, yaitu Jalan Hasanudin. Jaraknya kira-kira 8 Km.

Bersepeda dari rute ini, hampir tak ada hambatan berarti. Ada sedikit tanjakan menantang di Jl Yos Sudarso, sekitar sumur minyak Mathilda, yang menjadi asal usul sejarah nama Kota Balikpapan.

Tantangan berikutnya, yaitu di Jalan Hasanudin yang sedikit mendaki. Bagi pesepeda handal, jalan mendaki ini tentu menjadi rute perjalanan yang asik-asik saja.  Namun, nafas akan terasa ngos-ngosan bila tidak terbiasa menempuh jalan mendaki. Dan, siap-siap menuntun sepeda. Saya termasuk yang sempat menyerah, sekalipun panjangnya tanjakan hampir tuntas saya lewati. Ada kesalahan teknis, karena lambat mengantisipasi. Akhirnya stop sebentar, tarik nafas, kemudian melanjutkan pendakian. 

Setibanya di atas bukit, tempat meriam Jepang ini bertengger, kaos di badan saya terasa melekat di kulit. Banjir peluh tak dapat terhindarkan. Sesaat kemudian, tenggorokan sudah terasa segar, basah oleh air bekal.
Sebenarnya sudah lama saya tidak berkunjung ke tempat ini. Lama sekali, tahun 1990. Meriam yang kini menjadi situs benda cagar budaya tersebut berada RT 033 Kelurahan Baru Tengah, Kecamatan Balikpapan Barat. Berada di antara pemukiman penduduk, tak begitu jauh dari Asrama Bukit (Askit), kompleks asrama tentara.
Detil meriam
Ketika berkunjung di tahun itu, di tempat ini rasanya ada dua bangkai meriam. Bentuknya pun tak secantik sekarang. Meriam besi ini diselimuti korosi (karatan) berwarna kecoklat-coklatan, dan ada tumbuhan lumut di sana-sana. 

Tahun 1990 dimana saya aktif sebagai kuli tinta, sempat memanfaatkan latar belakang meriam Jepang ini untuk foto session grup musik lokal  yang cukup terkenal di kota  ini, yaitu Air Borne Band. Grup cadas yang satu ini penampilannya memang agak ‘’sangar’’ ketika di atas panggung. Karena itu saya mengambil foto mereka untuk melengkapi penulisan profilnya di koran Harian Manuntung (media cetak lokal), dengan latar belakang meriam tua. Saya rasa karakternya cukup mengena. Terkesan sangar.

Pemandangan di sekitar meriam peninggalan Jepang kala itu juga tak serapi sekarang. Bangkai meriam ini di sekitarnya ditumbuhi ilalang, bahkan sebagian juga terdapat (maaf) kotoran ayam. Beberapa tahun berselang, ada kabar kalau meriam ini tinggal satu. Ada yang menyebut dipotong-potong warga untuk dijadikan besi tua dan dijual. Sangat disayangkan.

Meriam ini memang berada di atas bukit. Strategi Jepang kala itu meletakkannya di bukit agar leluasa memukul serangan laut tentara sekutu dari Australia. Dari atas bukit ini memang bebas memandang ke arah laut lepas. Apalagi bila diperhatikan, secara teknis meriam dengan dua laras ini mempunyai kemampuan berputar ke semua arah. Seperti jarum jam yang duduk di satu sumbu. Karena itu tak heran, bila konon tentara Jepang sempat melakukan perlawanan hebat melawan tentara sekutu dari tempat ini. Penyerbuan tentara sekutu dari arah laut dibombardir Jepang dari atas bukit tersebut. Meskipun pada akhirnya Jepang harus menyerah dan angkat kaki dari negeri ini setelah Herosima dan Nagasaki luluhlantak dibom atom oleh sekutu.

Masih kokoh meski ada beberapa bagian yang hilang
Di wilayah ini masyarakat lebih mengenal dengan sebutan Gunung Meriam. Ihwal nama itu tak lain karena di tempat tersebut terdapat meriam peninggalan Jepang. Situs cagar budaya tersebut kini terawat dengan baik.  Meskipun ada bagian-bagian kecil meriam yang sudah tak utuh. Bila berada di  samping meriam terasa lapang, tidak seperti dua puluh satu  tahun silam. 
Meriam dicat warna hijau. Sekitarnya diberi pagar pembatas, dan ada papan peringatan dari Dinas Pemuda, Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata kota Balikpapan. Bila sore, tak jarang anak-anak warga sekitar memanfaatkan lahan kecil sekitar meriam untuk bermain sepak bola. 

Duapuluhsatu tahun lalu, ketika berada di tempat ini, saya pernah terbersit dalam pemikiran, seandainya meriam peninggalan Jepang ini terawat baik dan dijadikan situs cagar budaya, tentu akan menjadi aset pariwisata kota. Kini, meriam itu sudah dilindungi oleh peraturan pemerintah kota seperti diharapkan. Ada rasa bangga. Tentu, perawatan peninggalan Perang Dunia II ini masih bisa ditingkatkan agar menjadi magnet pariwisata.

Lingkungan sekitarnya juga sudah banyak berubah. Persis di samping meriam Jepang ini, sekarang juga sudah ada reservoir air PDAM yang dibangun tahun 1999. Air ini untuk melayani distribusi masyarakat sekitar. Setahun kemudian (2000) perusahaan air minum milik daerah itu membangun pompa boster di lokasi yang sama untuk meningkatkan layanannya kepada masyarakat dengan kapasitas 1,2 liter per detik. (*)

Bangker Jepang Angker (?)



Lembayung surya tampak masih malu-malu. Hanya semburat perpaduan jingga dan kuning podang di ufuk timur, pertanda pagi akan segera datang. Suasana hening. Sesekali terdengar kokok ayam, dan sayup di kejauhan suara pengajian dari musala. Udara segar.  Lembut semilir angin seakan-akan menyapa selamat pagi.

Tampak depan Bangker
Untuk mencari suasana berbeda, kali ini saya bersepedaria ke luar kota. Tepatnya di daerah Kelurahan Manggar, Balikpapan Timur. Jaraknya sekitar 25 kilometer dari pusat kota. Cuaca Minggu pagi kali ini sangat bersahabat. Sekira pukul 05.30 Wita, saya mulai bergerak menuju pantai Wisata Manggar Segarasari. Tujuan kali ini adalah; Bangker peninggalan tentara Jepang pada saat Perang Dunia II, ketika  dominasi Jepang di Indonesia antara tahun 1942-1945.

Mengayuh sepeda dari pusat kota menuju Manggar, praktis tak ada hambatan berarti. Di sepanjang jalan provinsi, dari Jenderal Sudirman, kemudian Jl. Marsma Iswahyudi, lantas menyusur ke Jl Mulawarman, lempeng-lempeng saja. Sekalipun ada jalan tanjakan, namun cukup landai. Jadi, genjot sepedanya nyantai-nyantai saja. Dengan kecepatan rata-rata 25 kilometer per jam, tak membutuhkan waktu panjang untuk sampai di Kelurahan Manggar.

Bersepeda menuju Pantai Manggar sebelum mentari terseyum lebar, memang lumayan mengasikkan. Kesibukan kendaraan di jalan raya belum begitu ramai. Ini berbeda bila sore hari, dimana arus lalu lintas kendaraan begitu padat, tak terkecuali hilir mudik truk-truk proyek. Maklum, di sepanjang jalan menuju Manggar, sebut saja dari Gunung Bakaran (Jl Marsma Iswahyudi) hingga Batakan (Jl Mulawarman) banyak perkantoran dan workshop perusahaan-perusahaan besar penunjang bidang migas dan pertambangan.
Saya punya pengalaman bersepeda ke Pantai Manggar sore hari, terasa kurang nyaman. Karena kesibukan arus lalu lintas sore, dimana para pekerja pulang kantor --baik dari arah kota maupun ke luar kota-- cukup padat. Belum lagi debu jalan yang kadang menerpa  tak diundang.

Masih kokoh dan ditumbuhi lumut
Bersepeda pagi itu terasa santai. Nyaris tak ada debu berterbangan, apalagi truk-truk berbadan besar berseliweran. Selain pemadangan sejumlah perkantoran yang sepi karena hari libur, di sepanjang jalan juga ada kebun-kebun kecil milik masyarakat. Udara segar begitu terasa.

Sesampai di pintu gerbang pantai wisata Manggar Segarasari keringat mulai bercucuran. Karena masih pagi, belum ada petugas di pos jaga yang biasa menyodorkan tiket masuk. Jadi? Gratisan-lah. Sepanjang jalan masuk ke pantai Manggar sekira 500 meter dari jalan utama, tampak rumah-rumah penduduk. Di kiri-kanan hijau kebun pepaya dan ratusan pohon kelapa tinggi menjunjung langit. Beberapa warga sekitar tampak memulai aktivitas pagi.
Setiba di pesisir pantai, sinar matahari mulai menyalak. Pantulan sinarnya membias di pecah gelombang laut. Pemandangan yang indah sekali. Pantai wisata yang cukup terkenal ini masih sepi, belum banyak dikunjungi masyarakat. Hanya beberapa keluarga kecil yang bersukaria di bibir pantai, berlari-lari dan berkecipak air laut. Sebagian bermain bola, bebas.

Perlahan menelusuri pinggir jalan sepanjang pantai, akhirnya berjumpa tembok kokoh bekas bangker Jepang yang menjadi tujuan utama saya ke pantai  ini. Sepintas, sepertinya tak ada yang istimewa dari benda ini. Bahkan, tak banyak masyarakat yang mengetahui sebelum diberi papan pemberitahuan oleh Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata Kota Balikpapan. 

Disebutkan, benda ini dilindungi Undang-undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Bagi yang merusak, akan dipidana 1 tahun dan paling lama 15 tahun penjara, atau denda paling sedikit Rp 500 juta dan paling tinggi Rp 5 miliar. Dalam papan putih itu tertuliskan, Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010, namun dalam uraiannya tertera Undang-Undang No. 11 Tahun 2011. Mana yang benar ya?
Bangker ini sisa peninggalan tentara Jepang saat Perang Dunia II tahun 1943. Bangunan tembok tertutup berbentuk kotak dengan lebar kira-kira 3 meteran serta memiliki lubang pengintai  selebar 40 senti ini dijadikan tempat berlindung tentara Jepang, saat memukul serangan laut tentara Sekutu.  Karena itu, lubang pengintai bangker ini mengarah ke lepas pantai.

Papan cagar budaya dari pemerintah
Bila diamati, bangker ini dibuat dari bahan yang kokoh. Semen cor-coran dengan batu koral. Dindingnya setebal 40 sentimeter. Sayangnya, bentuk bangker ini sudah tak sempurna. Sedianya, pemerintah lebih memperhatikan dengan melakukan perawatan intensif terhadap benda bersejarah ini. Kalau perlu, diberi pagar pengaman agar tak tersentuh tangan-tangan jahil.

Ada yang bilang, di sekitar bangker Jepang ini suasananya angker. Malah ada yang punya pengalaman, saat kemping di sekitar bangker, salah satu anggotanya kesurupan roh halus. Benarkah angker? Yang menjadi pertanyaan saya, siapa yang membangun atau mengerjakan bangker ini. Pasukan Jepang kala itu, atau pekerja-pekerja Romusha?
Menurut informasi, di sekitar Manggar dan Lamaru, terdata ada 20 bangker peninggalan Jepang. Sebagian di antaranya berada di wilayah  Yonif 600/Rider. (*)