Rabu, 19 September 2012

Jangan Kendur di Komendur


Langit subuh di timur mulai terang. Surya pun perlahan bangkit, namun sinarnya masih malu-malu. Saya bergegas,  lalu mengayuh sepeda. Meluncur pelan, kemudian setengah melaju. Ini sebuah peluang agar tak berjumpa sengat matahari pagi. Harapan cuaca sejuk seperti Minggu pagi ini semalam terlintas di benak --sesaat  sebelum kedua kelopak mata gelap terlelap.

Pemandangan pagi dari atas Komendur
Agenda Gowes pagi itu adalah Tukong Hill,  atau Gunung Komendur di Kelurahan Prapatan, Balikpapan, Kalimantan Timur. Sebuah bukit dimana terdapat lampu suar, yang setia memberikan tanda navigasi bagi lalu lintas pelayaran yang masuk ke perairan niaga Teluk Balikpapan. Warga sekitar menyebut bukit ini Sempos. Entah dari mana asal-usul nama itu.

Gunung Komendur bukan objek wisata resmi. Namun tempat ini dijadikan cagar budaya oleh pemerintah setempat, yang perlu mendapat perlindungan. Konon tempat ini sudah dimanfaatkan sebagai navigasi pelayaran sejak  zaman Belanda. Di tempat ini berdiri instalasi menara suar milik Departemen Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

Menara suar di puncak Komendur
Bagi penyuka gowes di Kota Minyak (sebutan Balikpapan), Gunung Komendur salah satu tujuan favorit. Kurang lengkap rasanya bila belum pernah mendaki ke tempat ini. Jalannya yang menanjak tajam menjadi tantangan tersendiri. Bagi yang berusia muda, tentu bukan hambatan berarti. Namun tak jarang sejumlah pesepeda terpaksa mendorong sembari nafasnya tersengal-sengal sebelum mencapai puncak bukit. 

Pendakian terakhir

Jalan menuju bukit teratur rapi dengan dasar paving block. Sangat asik dilalui sepeda. Karena itu, bagi pesepeda sebaiknya jangan kendur melintasi tanjakan. Namun banyak juga yang belum berhasil sampai ke puncak.

 ‘’Kalau mau aman, sejak tanjakan putaran pertama sudah menggunakan gir belakang besar. Meski terasa lambat, tapi pasti sampai di bukit,’’ kata Lukas memberikan tips. Ia mengaku sudah tiga kali mencapai Gunung Komendur. Yang pasti, bila kita bersepeda hingga ke bukit Komendur dijamin peluh akan bercucuran.

Di lereng bukit Komendur terdapat perumahan warga, dan kompleks perumahan Pelayaran. Karenanya, tempat ini dikenal dengan sebutan Kampung Pelayaran, atau Jalan Pelayaran. Untuk mendaki, kita mesti melewati Jalan Gereja. Di kaki bukit Komendur ini memang terdapat bangunan gereja Katolik yang cukup megah.

Beberapa tumbuhan di Komendur
Gunung Komendur tak jauh dari Lapangan Merdeka, di Jalan Yos Sudarso, yang menjadi destinasi masyarakat Balikpapan untuk berolahraga saban Minggu pagi.  Untuk menuju Komendur dari lapangan milik Pertamina ini hanya butuh waktu sekira 15 menit.

Yang menarik ketika berada di bukit Komendur, pemadangannya indah sekali. Dari sini kita bebas memandang lepas pantai. Ada angin kering menyapa. Tampak pula gundukan Pulau Tukong dan Pulau Babi, dan kapal-kapal niaga serta tanker yang berada di Teluk Balikpapan, maupun yang akan bertambat di pelabuhan kapal. Gunung Komendur ini persis berada di depan Pelabuhan Semayang. Bila kita memandang dari sebuah kapal di lepas pantai, bukit Komendur tampak paling tinggi.

Ketika berada di tempat ini saya teringat masa-masa kecil sewaktu duduk di bangku SMP. Sepulang sekolah bersama kawan-kawan saya mencari buah Karamunting di sisi timur Komendur. Kebetulan kawan saya Joko Purnomo tinggal di sekitar kaki Komendur. (Apa kabar mas Joko?). Kadang kami juga mencari bambu corek untuk prakarya sekolah.
Jalan menuju makam Adji Kemala Gelar Adji Pameran Kerta Intan
 Tanaman liar yang biasa hidup di bukit berpasir tersebut tampaknya  masih ada, namun jumlahnya tak banyak. Lereng bukit yang dulu ditumbuhi pohon-pohon Karamunting, kini padat dengan perumahan penduduk. Pemerintah pernah mengingatkan agar warga yang tinggal di lereng untuk segera pindah, lantaran bukit ini dinilai rawan longsor.

Di sisi barat Komendur masih rimbun dengan pepohonan, dan semak-semak basah.. Hutan di Gunung Komendur ini menjadi Hutan Kota yang dilindungi peraturan daerah pemerintah Balikpapan. Selain pohon akasia, mente, jati dan tumbuhan sejenis pakis, di Gunung Komendur ini juga terdapat cagar budaya, yaitu situs Makam Adji Kemala Gelar Adji Pangeran Kerta Intan bin Sultan Adji Mohamad Sulaiman.

Batu Cinta, yang ini masih sulit dipercaya
Makam putra Sultan Kutai Kertanegara Ing Martadipura ke-19 Adji Mohammad Sulaiman yang memerintah tahun 1850 hingga 1899  ini baru ditemukan sekira sepuluh tahun belakangan. Penggalian peninggalan sejarah ini seiringan dengan pemerintahan Syaukani HR, bupati Kutai Kartanegara ke-9 yang menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dan menempatkannya sebagai muspida plus. Termasuk membangun situs Kutai Lama di Anggana dan situs di Muara Kaman.

Dalam sejarah, Balikpapan memang menjadi wilayah Kutai Kartanegara. Disebutkan,  tahun 1890 Belanda membeli daerah sekitar pesisir pantai Balikpapan dari Kesultanan Kutai.
Makam Adji Kemala Gelar Adji Pangeran Kerta Intan bin Sultan Adji Mohamad Sulaiman ini diajukan ke pemerintah pusat menjadi salah satu dari 77 situs cagar budaya yang ada di wilayah Balikpapan. Bila pengunjung ke makam ini, tidak boleh mengenakan pakaian kuning dan merah. Adakah hubungannya dengan hal gaib? Walahualam.

Pintu Cafe Puncak
Dekat menara suar di bukit ini juga ada bongkahan batu alam. Ada yang menyebut batu besi, seperti granit. Warga sekitar menyebut Batu Cinta. Batu cinta? Ya, di balik perut batu tertulis Batu Cinta. Siapa yang menulis selancang ini? Ada kemarahan memaksa pagi itu. Yang pasti: tangan-tangan jahil yang tega merusak alam.

Konon, ada saja yang menyebut bila sepasang kekasih mengikat janji di Batu Cinta ini akan setia sehidup semati. Oalah.., ada-ada saja. Isapan jempol!
Nah, bila Anda kebetulan gowes ke bukit ini jangan lupa juga mampir ke Café Puncak yang berada di lereng Komendur. Namun café ini baru buka jam 2 siang. Suatu saat saya akan menikmati minuman di café ini sembari memandang lepas ke pantai Teluk Balikpapan.

Andai saja Gunung Komendur itu tidak menjadi Hutan Kota dan dilindungi, tentu sangat potensial dijadikan tempat wahana wisata seperti skyway, kereta gantung Genting Highlands di pegunungan Titiwangsa, Malaysia. 


Kiri : Gunung Komendur. Kanan: Skyway di Genting Highlands, Malaysia. Beda-beda tipis
Terlintas di angan-angan saya suatu saat di puncak Komendur berdiri sebuah hotel, dan fasilitas pariwisata. Ya seperti Skyway itu. Mungkin gak ya?  Khayalan saya menari-nari mengiringi perjalanan menurun dari bukit Komendur, menuju destinasi awal di Lapangan Merdeka.  (*)