Langit subuh di timur mulai terang. Surya
pun perlahan bangkit, namun sinarnya masih malu-malu. Saya bergegas, lalu mengayuh sepeda. Meluncur pelan, kemudian
setengah melaju. Ini sebuah peluang agar tak berjumpa sengat matahari pagi.
Harapan cuaca sejuk seperti Minggu pagi ini semalam terlintas di benak --sesaat sebelum kedua kelopak mata gelap terlelap.
Pemandangan pagi dari atas Komendur |
Agenda Gowes
pagi itu adalah Tukong Hill, atau Gunung
Komendur di Kelurahan Prapatan, Balikpapan, Kalimantan Timur. Sebuah bukit
dimana terdapat lampu suar, yang setia memberikan tanda navigasi bagi lalu
lintas pelayaran yang masuk ke perairan niaga Teluk Balikpapan. Warga sekitar
menyebut bukit ini Sempos. Entah dari mana asal-usul nama itu.
Gunung
Komendur bukan objek wisata resmi. Namun tempat ini dijadikan cagar budaya oleh
pemerintah setempat, yang perlu mendapat perlindungan. Konon tempat ini sudah dimanfaatkan
sebagai navigasi pelayaran sejak zaman
Belanda. Di tempat ini berdiri instalasi menara suar milik Departemen
Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Menara suar di puncak Komendur |
Pendakian terakhir |
Jalan menuju bukit teratur rapi dengan dasar paving block. Sangat asik dilalui sepeda. Karena itu, bagi pesepeda sebaiknya jangan kendur melintasi tanjakan. Namun banyak juga yang belum berhasil sampai ke puncak.
‘’Kalau mau aman, sejak tanjakan putaran
pertama sudah menggunakan gir belakang besar. Meski terasa lambat, tapi pasti
sampai di bukit,’’ kata Lukas memberikan tips. Ia mengaku sudah tiga kali
mencapai Gunung Komendur. Yang pasti, bila kita bersepeda hingga ke bukit
Komendur dijamin peluh akan bercucuran.
Di lereng
bukit Komendur terdapat perumahan warga, dan kompleks perumahan Pelayaran.
Karenanya, tempat ini dikenal dengan sebutan Kampung Pelayaran, atau Jalan
Pelayaran. Untuk mendaki, kita mesti melewati Jalan Gereja. Di kaki bukit
Komendur ini memang terdapat bangunan gereja Katolik yang cukup megah.
Beberapa tumbuhan di Komendur |
Gunung
Komendur tak jauh dari Lapangan Merdeka, di Jalan Yos Sudarso, yang menjadi
destinasi masyarakat Balikpapan untuk berolahraga saban Minggu pagi. Untuk menuju Komendur dari lapangan milik
Pertamina ini hanya butuh waktu sekira 15 menit.
Yang menarik
ketika berada di bukit Komendur, pemadangannya indah sekali. Dari sini kita
bebas memandang lepas pantai. Ada angin kering menyapa. Tampak pula gundukan Pulau Tukong dan Pulau Babi, dan
kapal-kapal niaga serta tanker yang berada di Teluk Balikpapan, maupun yang
akan bertambat di pelabuhan kapal. Gunung Komendur ini persis berada di depan
Pelabuhan Semayang. Bila kita memandang dari sebuah kapal di lepas pantai, bukit
Komendur tampak paling tinggi.
Ketika
berada di tempat ini saya teringat masa-masa kecil sewaktu duduk di bangku SMP.
Sepulang sekolah bersama kawan-kawan saya mencari buah Karamunting di sisi
timur Komendur. Kebetulan kawan saya Joko Purnomo tinggal di sekitar kaki
Komendur. (Apa kabar mas Joko?). Kadang kami juga mencari bambu corek untuk
prakarya sekolah.
Jalan menuju makam Adji Kemala Gelar Adji Pameran Kerta Intan |
Di sisi
barat Komendur masih rimbun dengan pepohonan, dan semak-semak basah.. Hutan di Gunung Komendur ini
menjadi Hutan Kota yang dilindungi peraturan daerah pemerintah Balikpapan.
Selain pohon akasia, mente, jati dan tumbuhan sejenis pakis, di Gunung Komendur
ini juga terdapat cagar budaya, yaitu situs Makam Adji Kemala Gelar Adji
Pangeran Kerta Intan bin Sultan Adji Mohamad Sulaiman.
Batu Cinta, yang ini masih sulit dipercaya |
Dalam
sejarah, Balikpapan memang menjadi wilayah Kutai Kartanegara. Disebutkan, tahun 1890 Belanda membeli daerah sekitar
pesisir pantai Balikpapan dari Kesultanan Kutai.
Makam Adji
Kemala Gelar Adji Pangeran Kerta Intan bin Sultan Adji Mohamad Sulaiman ini
diajukan ke pemerintah pusat menjadi salah satu dari 77 situs cagar budaya yang ada di wilayah Balikpapan. Bila pengunjung
ke makam ini, tidak boleh mengenakan pakaian kuning dan merah. Adakah hubungannya
dengan hal gaib? Walahualam.
Pintu Cafe Puncak |
Dekat menara
suar di bukit ini juga ada bongkahan batu alam. Ada yang menyebut batu besi, seperti
granit. Warga sekitar menyebut Batu Cinta. Batu cinta? Ya, di balik perut batu tertulis Batu Cinta. Siapa yang menulis selancang ini? Ada kemarahan memaksa pagi itu. Yang pasti: tangan-tangan jahil yang tega merusak alam.
Konon, ada saja yang menyebut bila sepasang kekasih mengikat janji di Batu Cinta ini akan setia sehidup semati. Oalah.., ada-ada saja. Isapan jempol!
Konon, ada saja yang menyebut bila sepasang kekasih mengikat janji di Batu Cinta ini akan setia sehidup semati. Oalah.., ada-ada saja. Isapan jempol!
Nah, bila
Anda kebetulan gowes ke bukit ini jangan lupa juga mampir ke Café Puncak yang
berada di lereng Komendur. Namun café ini baru buka jam 2 siang. Suatu saat
saya akan menikmati minuman di café ini sembari memandang lepas ke pantai Teluk
Balikpapan.
Andai saja
Gunung Komendur itu tidak menjadi Hutan Kota dan dilindungi, tentu sangat potensial
dijadikan tempat wahana wisata seperti skyway, kereta gantung Genting Highlands
di pegunungan Titiwangsa, Malaysia.
Kiri : Gunung Komendur. Kanan: Skyway di Genting Highlands, Malaysia. Beda-beda tipis |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar