Kondisi meriam yang kurang terawa |
Ada yang berbeda bila bersepeda pagi hari
sebelum matahari terbit. Selain udara segar, debu-debu jalan masih enggan
terbang menyapa. Apalagi di daerah pebukitan, sejuk. Ke Puncak Markoni Atas adalah
tujuan gowes kali ini. Untuk melihat cagar budaya situs peninggalan koloni
Jepang, yaitu sebuah meriam yang digunakan saat Perang Dunia II.
Tidak banyak
masyarakat di kota ini yang tahu kalau di Jl Puncak Markoni Atas, Rt 07
Kelurahan Damai, Kecamatan Balikpapan Selatan, provinsi Kalimantan Timur,
terdapat meriam besi sepanjang 9 meter dengan moncong berdiameter 55 cm.
Ketika masih
duduk di kelas dua SMP, saya sudah pernah bermain di meriam ini. Karena kawan
sebangku, Umardani, tinggal tak jauh dari tempat ini. Pulang sekolah kami bermain
di sekitar meriam. Ada juga tiga sahabat lain yang tinggal di kawasan tersebut, Doddy, Deddy dan Stevy. (Apa kabarnya kalian?
Sudah tiga puluh tahun lebih kita tak berjumpa).
Meriam tampak dari depan |
Orangtua
Umardani memiliki pohon kecapi. Sambil ngemut bici kecapi, kami berlari-lari di
bukit sekitar meriam Jepang ini. Tak pernah terpikir dalam benak kami, bahwa
benda peninggalan zaman perang saat Jepang menduduki Balikpapan itu adalah
sebuah benda yang harus dijaga dan dilindungi.
Sayangnya,
peninggalan sejarah ini belum mendapatkan sentuhan yang maksimal. Kabarnya,
pemerintah kota sudah mengajukan agar cagar budaya ini dapat perlindungan resmi
dari pemerintah pusat. Di tempat ini dulu ada dua meriam, kini tinggal satu.
Di atas
meriam terdapat dua batang bentangan kayu besi (kayu ulin) selebar 40 cm sisa
gelagar atap pelindung. Begitu juga di kiri kanan masih ada tiang-tiang pondasi
dari kayu ulin. Kayu asli Kalimantan ini memang diketahui berumur panjang.
Sementara badan meriam terselimuti korosi (berkarat). Bangkai meriam Yokohama yang diperkirakan dibuat tahun 1935
ini sempat terkubur, dan kemudian digali kembali oleh warga September 2010.
Badan meriam dipenuhi karat, belum ada perawatan |
Bila
memperhatikan diameter moncong meriam ini, bisa kita bayangkan betapa dasyatnya
peluru yang dimuntahkan. Dari atas bukit ini, tentara Jepang pada saat itu
membombardir kapal-kapal tentara sekutu Australia yang merapat di pantai
Balikpapan.
Menurut
informasi, meriam ini dibawa tentara Jepang tanggal 1 Maret 1942, dan dipasang
15 Mei 1942. Sementara pertempuran
terjadi sejak 20 Agustus 1943 hingga 15 Juli 1945. Dari kedasyatan meriam
ini konon 10 kapal sekutu dikaramkan di pantai Balikpapan.
Sesungguhnya
tak terlalu sulit untuk bersepeda menuju meriam peninggalan tentara negeri
matahari terbit tersebut. Namun karena sekira 30 tahunan tidak pernah ke tempat
ini, terjadi disorientasi. Rumah-rumah penduduk semakin padat. Dulu, ketika
kecil, kami bebas berlari-lari di antara ilalang untuk menuju meriam.
Ironinya,
ketika saya bertanya kepada salah seorang warga tentang keberadaan meriam
tersebut, tak mendapat jawaban rinci. ‘’Saya nggak tahu mas. Rasanya gak ada
meriam di sekitar sini,’’ ujar pria paro baya yang pagi itu sedang
berkemas-kemas. Saya lantas berpikir, pasti orang yang saya temui ini bukan
penduduk asli (pendatang), atau bukan warga lama Puncak Markoni Atas.
Medan yang lumayan sulit ditempuh dengan sepeda |
Saya
mendapat jawaban pasti sesaat kemudian, setelah menemui seorang ibu rumah
tangga yang sedang mencuci pakaian. ‘’Lewat jalan setapak mas, terus naik ke
atas bukit,’’ tukasnya sembari menatap ke arah yang dimaksud.
Lewati jalan
setapak dengan sepeda, tentu tak ada persoalan. Nyantai saja. Namun hambatan
membentang ketika berhadapan dengan bukit kecil setinggi kira-kira 15 meter. Rasanya
sulit mendaki dengan sepeda. Selain kontur tanah tak beraturan, sudut kemiringan
juga agak menyulitkan. Jalan satu-satunya adalah memikul sepeda. Dan itu mau
tak mau, harus dilakukan!
Pemandangan dari Puncak Markoni Atas |
Meski peluh
bercucuran, akhirnya sampai juga saya di lokasi meriam Jepang ini. Tanpa
menunggu, saya langsung membasahi kerongkongan dengan bekal air putih. Ada rasa
lega.
Di
ketinggian bukit ini disambut sepoi angin dan pemandangan pantai Balikpapan yang
indah. Berbeda dengan tigapuluh tahun
lalu, bila mata memandang jauh tampak pasir putih pantai membentang. Kini yang
ada; padat rumah penduduk, pusat pertokoan, dan beberapa gedung bertingkat
menjulang ke langit.
Untuk menuju
ke tempat ini bisa melewati poros Jl Jenderal Sudirman atau dari Jl Mayjen
Sutoyo (Gunung Malang). Dari Jl Sudirman, menuju Jl Markoni, menelusuri jalan
mendaki Markoni Atas. Sebelum menelusur
Jl Puncak Markoni Atas, di
sebelah kanan jalan terdapat tempat ibadah umat Buddha, Wihara Eka Dharma.
Saat
pendakian landai Jl Puncak Markoni Atas terdapat bangunan Open House, semacam
resto. Tempat entertainment yang cukup
representative milik pengusaha Yusi Ananda tersebut kini sedang direnovasi.
Kemudian saya
menjajaki jalan setapak untuk sampai di tujuan utama. Suasana hening. Hanya
sekira 10 menit saya berada di meriam ini, sempat terlintas kenangan masa-masa
kecil dahulu.
Turnaround Cycling Community yang semangat |
Dari lokasi
meriam tak ada jalan terusan. Jadi harus berbalik arah. Ketika mengayuh sepeda
dengan jalan menurun, saya berjumpa dengan rombongan gowes Turnaround Cycling
Community dari Pertamina. Mereka over track menuju jalan setapak, menembus Jl
Mayjen Sutoyo Gunung Malang, namun saya arahkan agar menyempatkan untuk melihat
meriam peninggalan Jepang tersebut. Delapan anggota rombongan mengaku tak
pernah tahu keberadaan benda cagar budaya tersebut. Mereka tampak antusias. (*)
salam kenal mas,
BalasHapusmau tanya meriam nya apa cm smpai larasnya saja ato sudah ada ekskavasi lebih lanjut mngenai bntuk asli meriam ts mas....
Yang saya perhatikan mas, meriam masih dalambentuk aslinya...
BalasHapus