Selasa, 02 Oktober 2012

Perlu Pamit di Kebun Sawit


buah manggis dalam kerudung
kebelet pipis jadi bingung…
…sayur pakis dijual di pasar
mau pipis, kebun sawit (pun) disasar


Pohon sawit di Karang Anyar
Paling nggak nyaman ketika sedang gowes kebelet pipis. Suer! Ini yang saya alami ketika bersepeda muter-muter kota. Bingung. Lantas apa yang harus diperbuat? Tak ada toilet umum, juga tak ada tempat yang pas. Uih… makin ditahan, makin tak nyaman. Gimana dong?

Sementara kaki terus mengayuh pancal sepeda. Makin kebelet pipis, makin laju menggenjot sepeda, berharap akan berjumpa dengan toilet tempat buang hajat. Kalau saja berada di sekitar fasilitas umum atau pusat perbelanjaan, tentu bukan masalah. Tapi yang terjadi saya sedang berada di jalan raya. Pagi-pagi sekali. Jalan pun belum ramai seliweran kendaraan.

Inilah risikonya bila mau gowes tak buang air kecil dulu. Ya begini jadinya. Begitu kebelet jadi bingung sendiri. Toh nggak mungkin kan pipis di celana? Hi.., jorok!
Rasa ingin pipis itu sebenarnya sudah saya rasakan sejak awal mengayuh sepeda. Tapi rasa itu diabaikan.  Paling-paling akan ketemu tempat pipis di saat perjalanan nanti. Begitu yang ada dalam pikiran. Celakanya, sudah mengayuh sepeda sampai lima kilometer, belum juga ketemu toilet. Oalah. Bisa kacau!

Tumbuh subur
Rasa kebelet sudah menggoda saat melintasi Jalan A Yani. Rasa-rasanya kantung kemih mau pecah saja.Dan rasa itu makin memuncak ketika berada di bundaran tugu nol kilometer di Muara Rapak. Saya mengayuh sepeda sekencang-kencangnya sembari merapatkan sedikit kedua selangkangan. Dengan cara seperti itu setidaknya sedikit mengurangi rasa ingin pipis. Apa iya bisa begitu? Yang namanya kebelet, tetap saja kebelet. Nggak bisa ditawar-tawar.

Sepeda pun meluncur cepat. Persis berada di pertigaan traffic light Karang Anyar, Jl Yos Sudarso, saya tengok kiri tengok kanan. Tanpa disuruh saya langsung menerabas masuk ke kebun kelapa sawit. Kebun? Ya, kebunlah, bukan pasar!  Di sini ternyata ada kebun kelapa sawit. Pagi itu masih sepi sekali. Sejurus kemudian, seer...pipis deh. Saya buang air kecil di tempat itu tak perlu pamit. Sebab tak ada orang. Yang penting: lega uey…

Sungguh, ini pengalaman yang paling berharga. Setidaknya kalau ingin gowes jarak jauh harus buang air kecil dulu. Kalau tidak, ya begini kejadiannya. Ini peringatan keras bagi penggowes maniac. Jangan kencing sembarangan. Ingat itu!

Siapa yang akan memetik?
Di bawah rindang kebun sawit itu udaranya sejuk. Tapi kok ada ya kebun seluas ini di tengah kota? Kebun ini milik siapa? Di situ ada sekitar 420 pohon sawit yang sudah tinggi dan sepertinya sudah beberapa kali dipanen. Tersusun rapi. Berbaris dengan jarak sekitar 9 sampai 10 meter antar pohon.  Sepertinya mengabaikan pola tanam sawit segi tiga sama sisi.

Puluhan pohon saya lihat masih ada yang berbuah. Warnanya cokelat. Saya nggak tahu persis, apakah kebun ini sudah pernah dipetik buahnya. Kalau ya, dijual kemana? Dan, siapa yang memetik? Anda ada yang tahu?

Setahu saya, tanah seluas ini dulunya adalah kompleks perumahan karyawan Pertamina. Pernah terbakar sekitar tahun 80an. Kemudian dibongkar dan diratakan. Setelah itu, lahan ini dijadikan buffer zone kilang minyak Pertamina UP V Kalimantan, dan ditanami pohon kelapa sawit. Lahan yang kosong itu kini hijau dengan ratusan pohon sawit. Tumbuh subur dan berbuah.

Pohon sawit ini terus berbuah
Andaisaja ada sejumlah lahan kosong di dalam kota Balikpapan yang ditanami pohon kelapa sawit, alangkah baiknya.  Selain jadi kawasan hijau dan menjadi daerah tadah hujan, buah sawit juga bisa mendatangkan keuntungan.

Memang,harga jual tandan buah segar kelapa sawit di Kalimantan kini cenderung fluktuatif.  Dan tahun ini terjadi penurunan tajam. Menurut info, harga jualnya di bawah Rp 1.500 per kilogram. Hal itu seiring dengan menurunnya harga jual tiga komoditas ekspor unggulan, yaitu batubara, karet dan minyak kelapa sawit mentah. Padahal, ketiga komoditi ini tahun lalu menyumbang devisa 32,80 miliar dolar AS, atau lebih dari 16 persen dari total ekspor nasional. Katanya, ini dampak krisis ekonomi global. Tentu, harga jual kelapa sawit yang turun  tidak ada hubungannya dengan kebelet pipis. Ha ha.ha.. hi… hi…. Hust! (*)

Haru Biru di Lamaru Baru


Cahaya pagi mulai menjemput siang. Butir-butir keringat jatuh tak berbekas, beriringan laju putaran roda sepeda. Mengayuh melintasi jalan panjang, kemudian berpacu menerobos sinar mentari dari timur. Pasir putih membentang menyapa, ditingkangi sepoi angin bertiup yang tak pernah tertoreh. Di sana, di Pantai Lamaru.

Pantai Lamaru yang luas membentang
Pagi-pagi di penghujung September 2012, saya kembali mengayuh sepeda ke ujung timur kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Tujuannya adalah Pantai Wisata Lamaru. Lumayan jauh. Jaraknya sekira 26 kilometer dari pusat kota. Tak ada halang merintang. Aspal jalan pun mulus. Debu-debu sisa semalam terseret angin pagi. Menjelma kesejukan.

Memacu sepeda dengan kecepatan sedang terukur, saya menikmati perjalanan kali ini. Meskipun sendiri, suasana perjalanan di sepanjang Jl Mulawarman cukup menghibur. Rasa lelah nyaris tak menghinggap di badan. Apalagi rasa penasaran kian memuncak. Penasaran akan Pantai Wisata Lamaru yang kini berwajah baru.

Ada rindu menjemput pantai
Setiba di gerbang pantai wisata tersebut, hati terasa kian lega. Jalan ke arah pantai semakin baik. Meskipun belum berlapis aspal, batu-batu kecil tergelar rapi.  Jalan ini jauh lebih baik dibanding sepuluh tahun terakhir. Pantai wisata ini dikelola swasta. Milik HM Jos Soetomo, pebisnis dari kelompok usaha hotel Bumi Senyiur. Lahan seluas 13 ribu hektare itu kini dikelola secara profesional, dan memancing daya tarik pemburu wisata pantai. Tertata apik. Ada permainan banana boat, kereta kuda, all-terrain vehicle (ATV), club car (golf car) serta flying fox dan fasilitas lainnya. Kedai-kedai siap saji tertata rapi.
 
Pantai Lamaru memang menyimpan sejuta kenangan. Di pantai ini, 20 tahun lalu, masih tampak lengang. Biru ombak dan bulir-bulir gelombang pecah yang terbias sinar matahari bagaikan mutiara yang terhampar di pasir putih membentang. Garis horizontal  terpajang luas dari ufuk timur ke ufuk barat. Ratusan batang pohon cemara menjulang tegak, rimbun daunnya diterpa angin melahirkan bunyi. Duh, ada keindahan tersembunyi.

Hamparan karang kecil mewarnai Lamaru
Saya punya kenangan manis ketika bersama rombongan production house dari TVRI Nasional, untuk membesut pemandangan indah Pantai Lamaru yang landai. Penggarapan program tayangan musik diproduseri Isti Dary Sofia dengan bintang tamu artis bersuara emas, Yuni Shara. Mba Yun –ketika itu, belum setenar sekarang.  Ihwal; pantai Lamaru sudah terpromosikan secara nasional.

Sekian tahun kedepan Pantai Lamaru yang semula sepi, tumbuh dengan pondok warung pantai. Bangunan sederhana dengan tiang bambu beratapkan daun nipah. Mengabaikan estetika.
Bila laut pasang turap untuk memancing

Meski begitu, potensi wisata pantai mulai menyeruap. Di hari-hari penghunjung pekan, pantai ini semakin mematri pengunjungnya. Anak-anak berlari girang dan berkecipak air di pantai. Ada juga yang senang berenang dan sekadar menikmati semilir angin yang tak kenal lelah. Pemandangan lain, nelayan tua mencari nener (bibit ikan bandeng) di genangan air payau. Selain menyaji rezeki, Lamaru juga memberi kesan damai.

Pagi itu, pikiran saya benar-benar dibalut masa-masa lalu Lamaru. Sekian detik menerawang, dan kemudian hilang dihempas angin. Sungguh, pantai ini menggali imajinasi.

Pantai Lamaru sekarang tetap menyimpan keindahan tersendiri. Di pantai itu kini ada bentangan turap sepanjang 120 meter yang  memisahkan antara pasir pantai dan garis ilir sungai. Kala sore menjelang petang, banyak warga membunuh sepi dengan memancing ikan di sini. Bongkahan batu gunung tersusun rapi dan direkat kayu ulin itu tampak kokoh, meski diterjang ombak bertubi.

Jadi pembatas pantai Lamaru dan bibir sungai
Tak ada lagi warung-warung penduduk sekitar sini, sejak pantai wisata ini ditutup awal November 2011 lalu.  ‘’Sejak ditutup itu kami tidak bisa berjualan seperti dulu lagi,’’ kata Wati, wanita paro baya.
Namun bukan bertanda nasib penjaja makanan ini kian muram.  Setelah pantai Lamaru diperbaharui dan terbuka umum tahun 2012, Wati justru berjualan pada tempat yang jauh lebih baik. Dengan bangunan semi permanen dan fasilitas yang sangat baik pula. 

‘’Alhamdulillah, sekarang bisa berjualan lagi,’’ katanya saat bincang sembari menyuguhkan es kelapa muda. Bila dulu ia berjualan di pantai tak perlu menyewa, sekarang dipatok tarif Rp 350 ribu sebulan. Itu belum termasuk fasilitas lemari pendingin.
Ada udang di balik terumbu

Wanita yang sempat tiga bulan bolak-balik ke kota untuk mengikuti kegiatan program lifeskill khusus gakin (keluarga miskin) dari pemerintah kota ini mengaku bersyukur, dua anaknya kini menjadi pegawai pengelola  pantai wisata tersebut dengan pendapatan yang lumayan. 

Kehadiran pantai Lamaru dengan wajah baru ini, sedikitnya turut memecahkan persoalan perekonomian warga sekitar. Ada keharuan menyeruak. Bahkan, retribusi pantai Lamaru menjadi salah satu andalan atas Pendapatan Asli Daerah (PAD) Balikpapan. Pengelola pun tetap mempertahankan eksotik pantai, termasuk memelihara peninggalan bersejarah yang ada di lokasi pantai, semisal bangker Jepang peninggalan Perang Dunia II.

Peninggalan bangker Jepang yang terawat
Sekarang pantai Lamaru lebih representatif. Tarif masuk Rp 5 ribu per orang. Namun terhitung 1 Oktober 2012 lalu, dinaikkan menjadi Rp 8 ribu, sudah termasuk free pemakaian toilet. Sedangkan mobil roda empat dikenakan Rp 15 ribu.

Hari itu saya berdiri di ujung pantai, melawan dorongan angin. Lantas menikmati bersepeda di pasir pantai yang basah nan lenggang.  Ada kegembiraan tak tertakar.  Pegal kedua pangkal kaki pun tak terasakan. Kemudian berpijak di hamparan karang-karang muda terpahat alam.  Aroma khas biota laut terasa merayap ke hidung. Di sela bebatuan ada riak-riak kecil. Ada pula suara tak tik tak tik, pertanda ada udang batu bersembunyi di balik terumbu.

Waktu memang menyembunyikan keasyikan di pantai. Tak terasa matahari sudah berdiri tegak. Siang itu saya bergerak pulang ke kota.

Kini pantai Lamaru tak punya cerita lagi tentang pencari nener. Tak ada lagi warung-warung beratapkan daun nipah. Semua tergantikan dengan suara motor ATV, speedboat, mobil golf dan ringkik kuda.
Bayang-bayang masa lalu seakan melambai ketika saya meninggalkan pantai dengan ratusan pohon kelapa, ladang petani dan rumah-rumah penduduk. Saya mengayuh cepat sepeda dan tak menoleh lagi ke belakang. Menitipkan rindu laut pada pantai dalam ketenangan hati. (*)

Pantai Lamaru baru yang kian memanjakan pengunjung dengan berbagai hiburan.