buah manggis dalam kerudung
kebelet pipis jadi bingung…
…sayur pakis dijual di pasar
mau pipis, kebun sawit (pun) disasar
Sementara
kaki terus mengayuh pancal sepeda. Makin kebelet pipis, makin laju menggenjot
sepeda, berharap akan berjumpa dengan toilet tempat buang hajat. Kalau saja
berada di sekitar fasilitas umum atau pusat perbelanjaan, tentu bukan masalah.
Tapi yang terjadi saya sedang berada di jalan raya. Pagi-pagi sekali. Jalan pun
belum ramai seliweran kendaraan.
Inilah
risikonya bila mau gowes tak buang air kecil dulu. Ya begini jadinya. Begitu kebelet
jadi bingung sendiri. Toh nggak mungkin kan pipis di celana? Hi.., jorok!
Rasa ingin
pipis itu sebenarnya sudah saya rasakan sejak awal mengayuh sepeda. Tapi rasa
itu diabaikan. Paling-paling akan ketemu
tempat pipis di saat perjalanan nanti. Begitu yang ada dalam pikiran. Celakanya,
sudah mengayuh sepeda sampai lima kilometer, belum juga ketemu toilet. Oalah.
Bisa kacau!
Tumbuh subur |
Rasa kebelet
sudah menggoda saat melintasi Jalan A Yani. Rasa-rasanya kantung kemih mau
pecah saja.Dan rasa itu makin memuncak ketika berada di bundaran tugu nol
kilometer di Muara Rapak. Saya mengayuh sepeda sekencang-kencangnya sembari
merapatkan sedikit kedua selangkangan. Dengan cara seperti itu setidaknya
sedikit mengurangi rasa ingin pipis. Apa iya bisa begitu? Yang namanya kebelet,
tetap saja kebelet. Nggak bisa ditawar-tawar.
Sepeda pun meluncur
cepat. Persis berada di pertigaan traffic light Karang Anyar, Jl Yos Sudarso,
saya tengok kiri tengok kanan. Tanpa disuruh saya langsung menerabas masuk ke
kebun kelapa sawit. Kebun? Ya, kebunlah, bukan pasar! Di sini ternyata ada kebun kelapa sawit. Pagi
itu masih sepi sekali. Sejurus kemudian, seer...pipis deh. Saya buang air kecil
di tempat itu tak perlu pamit. Sebab tak ada orang. Yang penting: lega uey…
Sungguh, ini
pengalaman yang paling berharga. Setidaknya kalau ingin gowes jarak jauh harus
buang air kecil dulu. Kalau tidak, ya begini kejadiannya. Ini peringatan keras
bagi penggowes maniac. Jangan kencing sembarangan. Ingat itu!
Siapa yang akan memetik? |
Di bawah
rindang kebun sawit itu udaranya sejuk. Tapi kok ada ya kebun seluas ini di
tengah kota? Kebun ini milik siapa? Di situ ada sekitar 420 pohon sawit yang
sudah tinggi dan sepertinya sudah beberapa kali dipanen. Tersusun rapi. Berbaris
dengan jarak sekitar 9 sampai 10 meter antar pohon. Sepertinya mengabaikan pola tanam sawit segi
tiga sama sisi.
Puluhan
pohon saya lihat masih ada yang berbuah. Warnanya cokelat. Saya nggak tahu
persis, apakah kebun ini sudah pernah dipetik buahnya. Kalau ya, dijual kemana?
Dan, siapa yang memetik? Anda ada yang tahu?
Setahu saya,
tanah seluas ini dulunya adalah kompleks perumahan karyawan Pertamina. Pernah
terbakar sekitar tahun 80an. Kemudian dibongkar dan diratakan. Setelah itu,
lahan ini dijadikan buffer zone kilang minyak Pertamina UP V Kalimantan, dan
ditanami pohon kelapa sawit. Lahan yang kosong itu kini hijau dengan ratusan
pohon sawit. Tumbuh subur dan berbuah.
Pohon sawit ini terus berbuah |
Andaisaja ada
sejumlah lahan kosong di dalam kota Balikpapan yang ditanami pohon kelapa
sawit, alangkah baiknya. Selain jadi
kawasan hijau dan menjadi daerah tadah hujan, buah sawit juga bisa mendatangkan
keuntungan.
Memang,harga
jual tandan buah segar kelapa sawit di Kalimantan kini cenderung fluktuatif. Dan tahun ini terjadi penurunan tajam. Menurut
info, harga jualnya di bawah Rp 1.500 per kilogram. Hal itu seiring dengan menurunnya
harga jual tiga komoditas ekspor unggulan, yaitu batubara, karet dan minyak
kelapa sawit mentah. Padahal, ketiga komoditi ini tahun lalu menyumbang devisa
32,80 miliar dolar AS, atau lebih dari 16 persen dari total ekspor nasional. Katanya,
ini dampak krisis ekonomi global. Tentu, harga jual kelapa sawit yang turun tidak ada hubungannya dengan kebelet pipis. Ha
ha.ha.. hi… hi…. Hust! (*)