Senin, 17 September 2012

Meriam Koloni di Markoni


Kondisi meriam yang kurang terawa
Ada yang berbeda bila bersepeda pagi hari sebelum matahari terbit. Selain udara segar, debu-debu jalan masih enggan terbang menyapa. Apalagi di daerah pebukitan, sejuk. Ke Puncak Markoni Atas adalah tujuan gowes kali ini. Untuk melihat cagar budaya situs peninggalan koloni Jepang, yaitu sebuah meriam yang digunakan saat Perang Dunia II.

Tidak banyak masyarakat di kota ini yang tahu kalau di Jl Puncak Markoni Atas, Rt 07 Kelurahan Damai, Kecamatan Balikpapan Selatan, provinsi Kalimantan Timur, terdapat meriam besi sepanjang 9 meter dengan moncong berdiameter 55 cm.

Ketika masih duduk di kelas dua SMP, saya sudah pernah bermain di meriam ini. Karena kawan sebangku, Umardani, tinggal tak jauh dari tempat ini. Pulang sekolah kami bermain di sekitar meriam. Ada juga tiga sahabat lain yang tinggal di kawasan tersebut,  Doddy, Deddy dan Stevy. (Apa kabarnya kalian? Sudah tiga puluh tahun lebih kita tak berjumpa).

Meriam tampak dari depan
Orangtua Umardani memiliki pohon kecapi. Sambil ngemut bici kecapi, kami berlari-lari di bukit sekitar meriam Jepang ini. Tak pernah terpikir dalam benak kami, bahwa benda peninggalan zaman perang saat Jepang menduduki Balikpapan itu adalah sebuah benda yang harus dijaga dan  dilindungi.

Sayangnya, peninggalan sejarah ini belum mendapatkan sentuhan yang maksimal. Kabarnya, pemerintah kota sudah mengajukan agar cagar budaya ini dapat perlindungan resmi dari pemerintah pusat. Di tempat ini dulu ada dua meriam, kini tinggal satu.

Di atas meriam terdapat dua batang bentangan kayu besi (kayu ulin) selebar 40 cm sisa gelagar atap pelindung. Begitu juga di kiri kanan masih ada tiang-tiang pondasi dari kayu ulin. Kayu asli Kalimantan ini memang diketahui berumur panjang. Sementara badan meriam terselimuti korosi (berkarat). Bangkai meriam  Yokohama yang diperkirakan dibuat tahun 1935 ini sempat terkubur, dan kemudian digali kembali oleh warga September 2010.

Badan meriam dipenuhi karat, belum ada perawatan
Bila memperhatikan diameter moncong meriam ini, bisa kita bayangkan betapa dasyatnya peluru yang dimuntahkan. Dari atas bukit ini, tentara Jepang pada saat itu membombardir kapal-kapal tentara sekutu Australia yang merapat di pantai Balikpapan.

Menurut informasi, meriam ini dibawa tentara Jepang tanggal 1 Maret 1942, dan dipasang 15 Mei 1942. Sementara pertempuran  terjadi sejak 20 Agustus 1943 hingga 15 Juli 1945. Dari kedasyatan meriam ini konon 10 kapal sekutu dikaramkan di pantai Balikpapan.

Sesungguhnya tak terlalu sulit untuk bersepeda menuju meriam peninggalan tentara negeri matahari terbit tersebut. Namun karena sekira 30 tahunan tidak pernah ke tempat ini, terjadi disorientasi. Rumah-rumah penduduk semakin padat. Dulu, ketika kecil, kami bebas berlari-lari di antara ilalang untuk menuju meriam.
Ironinya, ketika saya bertanya kepada salah seorang warga tentang keberadaan meriam tersebut, tak mendapat jawaban rinci. ‘’Saya nggak tahu mas. Rasanya gak ada meriam di sekitar sini,’’ ujar pria paro baya yang pagi itu sedang berkemas-kemas. Saya lantas berpikir, pasti orang yang saya temui ini bukan penduduk asli (pendatang), atau bukan warga lama Puncak Markoni Atas.

Medan yang lumayan sulit ditempuh dengan sepeda
Saya mendapat jawaban pasti sesaat kemudian, setelah menemui seorang ibu rumah tangga yang sedang mencuci pakaian. ‘’Lewat jalan setapak mas, terus naik ke atas bukit,’’ tukasnya sembari menatap ke arah yang dimaksud.

Lewati jalan setapak dengan sepeda, tentu tak ada persoalan. Nyantai saja. Namun hambatan membentang ketika berhadapan dengan bukit kecil setinggi kira-kira 15 meter. Rasanya sulit mendaki dengan sepeda. Selain kontur tanah tak beraturan, sudut kemiringan juga agak menyulitkan. Jalan satu-satunya adalah memikul sepeda. Dan itu mau tak mau, harus dilakukan!

Pemandangan dari Puncak Markoni Atas
Meski peluh bercucuran, akhirnya sampai juga saya di lokasi meriam Jepang ini. Tanpa menunggu, saya langsung membasahi kerongkongan dengan bekal air putih. Ada rasa lega.
Di ketinggian bukit ini disambut sepoi angin dan pemandangan pantai Balikpapan yang indah.  Berbeda dengan tigapuluh tahun lalu, bila mata memandang jauh tampak pasir putih pantai membentang. Kini yang ada; padat rumah penduduk, pusat pertokoan, dan beberapa gedung bertingkat menjulang ke langit.

Untuk menuju ke tempat ini bisa melewati poros Jl Jenderal Sudirman atau dari Jl Mayjen Sutoyo (Gunung Malang). Dari Jl Sudirman, menuju Jl Markoni, menelusuri jalan mendaki Markoni Atas. Sebelum menelusur  Jl Puncak Markoni  Atas, di sebelah kanan jalan terdapat tempat ibadah umat Buddha, Wihara Eka Dharma.
Saat pendakian landai Jl Puncak Markoni Atas terdapat bangunan Open House, semacam resto. Tempat entertainment  yang cukup representative milik pengusaha Yusi Ananda tersebut kini sedang direnovasi.
Kemudian saya menjajaki jalan setapak untuk sampai di tujuan utama. Suasana hening. Hanya sekira 10 menit saya berada di meriam ini, sempat terlintas kenangan masa-masa kecil dahulu. 

Turnaround Cycling Community yang semangat
Dari lokasi meriam tak ada jalan terusan. Jadi harus berbalik arah. Ketika mengayuh sepeda dengan jalan menurun, saya berjumpa dengan rombongan gowes Turnaround Cycling Community dari Pertamina. Mereka over track menuju jalan setapak, menembus Jl Mayjen Sutoyo Gunung Malang, namun saya arahkan agar menyempatkan untuk melihat meriam peninggalan Jepang tersebut. Delapan anggota rombongan mengaku tak pernah tahu keberadaan benda cagar budaya tersebut. Mereka tampak antusias. (*)