Rabu, 29 Agustus 2012

Lapang di Meriam Jepang


Minggu pagi itu cuaca cerah seperti diharapkan. Biru langit ditutupi bingkai-bingkai awan putih bergelombang. Meskipun jauh di ufuk barat mendung mencoba mewarnai, namun itu bukan berarti pertanda hujan segera datang. Rasa penasaran kian memuncak pagi itu. Ingin segera melihat meriam peninggalan tentara Jepang saat Perang Dunia II yang meletus tahun 1943. 

Meriam menghadap ke timur
 Mengambil ancang-ancang dari Lapangan Merdeka, Jl Jenderal Sudirman, lumayan berkeringat bila bersepedaria ke tempat tersebut. Melewati Jalan Yos Sudarso (Jalan Minyak), lantas menelusuri jalan Letjen Suprapto hingga ke depan Lapangan Foni, samping Plaza Kebun Sayur. Tak jauh dari situ, berbelok ke arah kanan, yaitu Jalan Hasanudin. Jaraknya kira-kira 8 Km.

Bersepeda dari rute ini, hampir tak ada hambatan berarti. Ada sedikit tanjakan menantang di Jl Yos Sudarso, sekitar sumur minyak Mathilda, yang menjadi asal usul sejarah nama Kota Balikpapan.

Tantangan berikutnya, yaitu di Jalan Hasanudin yang sedikit mendaki. Bagi pesepeda handal, jalan mendaki ini tentu menjadi rute perjalanan yang asik-asik saja.  Namun, nafas akan terasa ngos-ngosan bila tidak terbiasa menempuh jalan mendaki. Dan, siap-siap menuntun sepeda. Saya termasuk yang sempat menyerah, sekalipun panjangnya tanjakan hampir tuntas saya lewati. Ada kesalahan teknis, karena lambat mengantisipasi. Akhirnya stop sebentar, tarik nafas, kemudian melanjutkan pendakian. 

Setibanya di atas bukit, tempat meriam Jepang ini bertengger, kaos di badan saya terasa melekat di kulit. Banjir peluh tak dapat terhindarkan. Sesaat kemudian, tenggorokan sudah terasa segar, basah oleh air bekal.
Sebenarnya sudah lama saya tidak berkunjung ke tempat ini. Lama sekali, tahun 1990. Meriam yang kini menjadi situs benda cagar budaya tersebut berada RT 033 Kelurahan Baru Tengah, Kecamatan Balikpapan Barat. Berada di antara pemukiman penduduk, tak begitu jauh dari Asrama Bukit (Askit), kompleks asrama tentara.
Detil meriam
Ketika berkunjung di tahun itu, di tempat ini rasanya ada dua bangkai meriam. Bentuknya pun tak secantik sekarang. Meriam besi ini diselimuti korosi (karatan) berwarna kecoklat-coklatan, dan ada tumbuhan lumut di sana-sana. 

Tahun 1990 dimana saya aktif sebagai kuli tinta, sempat memanfaatkan latar belakang meriam Jepang ini untuk foto session grup musik lokal  yang cukup terkenal di kota  ini, yaitu Air Borne Band. Grup cadas yang satu ini penampilannya memang agak ‘’sangar’’ ketika di atas panggung. Karena itu saya mengambil foto mereka untuk melengkapi penulisan profilnya di koran Harian Manuntung (media cetak lokal), dengan latar belakang meriam tua. Saya rasa karakternya cukup mengena. Terkesan sangar.

Pemandangan di sekitar meriam peninggalan Jepang kala itu juga tak serapi sekarang. Bangkai meriam ini di sekitarnya ditumbuhi ilalang, bahkan sebagian juga terdapat (maaf) kotoran ayam. Beberapa tahun berselang, ada kabar kalau meriam ini tinggal satu. Ada yang menyebut dipotong-potong warga untuk dijadikan besi tua dan dijual. Sangat disayangkan.

Meriam ini memang berada di atas bukit. Strategi Jepang kala itu meletakkannya di bukit agar leluasa memukul serangan laut tentara sekutu dari Australia. Dari atas bukit ini memang bebas memandang ke arah laut lepas. Apalagi bila diperhatikan, secara teknis meriam dengan dua laras ini mempunyai kemampuan berputar ke semua arah. Seperti jarum jam yang duduk di satu sumbu. Karena itu tak heran, bila konon tentara Jepang sempat melakukan perlawanan hebat melawan tentara sekutu dari tempat ini. Penyerbuan tentara sekutu dari arah laut dibombardir Jepang dari atas bukit tersebut. Meskipun pada akhirnya Jepang harus menyerah dan angkat kaki dari negeri ini setelah Herosima dan Nagasaki luluhlantak dibom atom oleh sekutu.

Masih kokoh meski ada beberapa bagian yang hilang
Di wilayah ini masyarakat lebih mengenal dengan sebutan Gunung Meriam. Ihwal nama itu tak lain karena di tempat tersebut terdapat meriam peninggalan Jepang. Situs cagar budaya tersebut kini terawat dengan baik.  Meskipun ada bagian-bagian kecil meriam yang sudah tak utuh. Bila berada di  samping meriam terasa lapang, tidak seperti dua puluh satu  tahun silam. 
Meriam dicat warna hijau. Sekitarnya diberi pagar pembatas, dan ada papan peringatan dari Dinas Pemuda, Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata kota Balikpapan. Bila sore, tak jarang anak-anak warga sekitar memanfaatkan lahan kecil sekitar meriam untuk bermain sepak bola. 

Duapuluhsatu tahun lalu, ketika berada di tempat ini, saya pernah terbersit dalam pemikiran, seandainya meriam peninggalan Jepang ini terawat baik dan dijadikan situs cagar budaya, tentu akan menjadi aset pariwisata kota. Kini, meriam itu sudah dilindungi oleh peraturan pemerintah kota seperti diharapkan. Ada rasa bangga. Tentu, perawatan peninggalan Perang Dunia II ini masih bisa ditingkatkan agar menjadi magnet pariwisata.

Lingkungan sekitarnya juga sudah banyak berubah. Persis di samping meriam Jepang ini, sekarang juga sudah ada reservoir air PDAM yang dibangun tahun 1999. Air ini untuk melayani distribusi masyarakat sekitar. Setahun kemudian (2000) perusahaan air minum milik daerah itu membangun pompa boster di lokasi yang sama untuk meningkatkan layanannya kepada masyarakat dengan kapasitas 1,2 liter per detik. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar