Minggu pagi itu cuaca cerah seperti diharapkan.
Biru langit ditutupi bingkai-bingkai awan putih bergelombang. Meskipun jauh di
ufuk barat mendung mencoba mewarnai, namun itu bukan berarti pertanda hujan
segera datang. Rasa penasaran kian memuncak pagi itu. Ingin segera melihat
meriam peninggalan tentara Jepang saat Perang Dunia II yang meletus tahun 1943.
Meriam menghadap ke timur |
Mengambil
ancang-ancang dari Lapangan Merdeka, Jl Jenderal Sudirman, lumayan berkeringat
bila bersepedaria ke tempat tersebut. Melewati Jalan Yos Sudarso (Jalan
Minyak), lantas menelusuri jalan Letjen Suprapto hingga ke depan Lapangan Foni,
samping Plaza Kebun Sayur. Tak jauh dari situ, berbelok ke arah kanan, yaitu
Jalan Hasanudin. Jaraknya kira-kira 8 Km.
Bersepeda
dari rute ini, hampir tak ada hambatan berarti. Ada sedikit tanjakan menantang
di Jl Yos Sudarso, sekitar sumur minyak Mathilda, yang menjadi asal usul
sejarah nama Kota Balikpapan.
Tantangan
berikutnya, yaitu di Jalan Hasanudin yang sedikit mendaki. Bagi pesepeda
handal, jalan mendaki ini tentu menjadi rute perjalanan yang asik-asik saja. Namun, nafas akan terasa ngos-ngosan bila tidak terbiasa menempuh jalan mendaki. Dan,
siap-siap menuntun sepeda. Saya termasuk yang sempat menyerah, sekalipun
panjangnya tanjakan hampir tuntas saya lewati. Ada kesalahan teknis, karena
lambat mengantisipasi. Akhirnya stop sebentar, tarik nafas, kemudian
melanjutkan pendakian.
Setibanya di
atas bukit, tempat meriam Jepang ini bertengger, kaos di badan saya terasa
melekat di kulit. Banjir peluh tak dapat terhindarkan. Sesaat kemudian,
tenggorokan sudah terasa segar, basah oleh air bekal.
Sebenarnya sudah
lama saya tidak berkunjung ke tempat ini. Lama sekali, tahun 1990. Meriam yang kini
menjadi situs benda cagar budaya tersebut berada RT 033 Kelurahan Baru Tengah,
Kecamatan Balikpapan Barat. Berada di antara pemukiman penduduk, tak begitu
jauh dari Asrama Bukit (Askit), kompleks asrama tentara.
Detil meriam |
Tahun 1990 dimana
saya aktif sebagai kuli tinta, sempat memanfaatkan latar belakang meriam Jepang
ini untuk foto session grup musik lokal
yang cukup terkenal di kota ini,
yaitu Air Borne Band. Grup cadas yang satu ini penampilannya memang agak ‘’sangar’’
ketika di atas panggung. Karena itu saya mengambil foto mereka untuk melengkapi
penulisan profilnya di koran Harian Manuntung (media cetak lokal), dengan latar
belakang meriam tua. Saya rasa karakternya cukup mengena. Terkesan sangar.
Pemandangan
di sekitar meriam peninggalan Jepang kala itu juga tak serapi sekarang. Bangkai
meriam ini di sekitarnya ditumbuhi ilalang, bahkan sebagian juga terdapat
(maaf) kotoran ayam. Beberapa tahun berselang, ada kabar kalau meriam ini
tinggal satu. Ada yang menyebut dipotong-potong warga untuk dijadikan besi tua
dan dijual. Sangat disayangkan.
Meriam ini
memang berada di atas bukit. Strategi Jepang kala itu meletakkannya di bukit
agar leluasa memukul serangan laut tentara sekutu dari Australia. Dari atas
bukit ini memang bebas memandang ke arah laut lepas. Apalagi bila diperhatikan,
secara teknis meriam dengan dua laras ini mempunyai kemampuan berputar ke semua
arah. Seperti jarum jam yang duduk di satu sumbu. Karena itu tak heran, bila
konon tentara Jepang sempat melakukan perlawanan hebat melawan tentara sekutu dari
tempat ini. Penyerbuan tentara sekutu dari arah laut dibombardir Jepang dari atas
bukit tersebut. Meskipun pada akhirnya Jepang harus menyerah dan angkat kaki
dari negeri ini setelah Herosima dan Nagasaki luluhlantak dibom atom oleh
sekutu.
Masih kokoh meski ada beberapa bagian yang hilang |
Meriam dicat warna hijau.
Sekitarnya diberi pagar pembatas, dan ada papan peringatan dari Dinas Pemuda,
Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata kota Balikpapan. Bila sore, tak jarang anak-anak
warga sekitar memanfaatkan lahan kecil sekitar meriam untuk bermain sepak bola.
Duapuluhsatu
tahun lalu, ketika berada di tempat ini, saya pernah terbersit dalam pemikiran,
seandainya meriam peninggalan Jepang ini terawat baik dan dijadikan situs cagar
budaya, tentu akan menjadi aset pariwisata kota. Kini, meriam itu sudah
dilindungi oleh peraturan pemerintah kota seperti diharapkan. Ada rasa bangga.
Tentu, perawatan peninggalan Perang Dunia II ini masih bisa ditingkatkan agar
menjadi magnet pariwisata.
Lingkungan
sekitarnya juga sudah banyak berubah. Persis di samping meriam Jepang ini, sekarang
juga sudah ada reservoir air PDAM yang dibangun tahun 1999. Air ini untuk
melayani distribusi masyarakat sekitar. Setahun kemudian (2000) perusahaan air
minum milik daerah itu membangun pompa boster di lokasi yang sama untuk
meningkatkan layanannya kepada masyarakat dengan kapasitas 1,2 liter per detik.
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar