Tujuan gowes kali ini adalah Hutan
Lindung Sungai Wain. Wisata
alam hutan tropis di sebelah utara Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Tak ada keramaian disana, hanya sepi merajut padat hijau dedaunan.
Batang-batang pohon besar menjulang kokoh. Satu atau dua di antaranya tampak kering,
ujungnya bekas terbakar petir.
|
Pintu masuk Hutan Lindung |
Suasana hening
menyambut pagi itu. Hanya terdengar suara binatang-binatang kecil dari
kejauhan, nyaris tak melihatkan wujudnya. Sinar matahari pagi menerobos
dedaunan, memaksa menyebarkan cahayanya di antara rimbun pepohonan. Embun di pelepah
pun perlahan mengering.
Suasana
sekitar memang benar-benar sepi. Seperti tak ada tanda-tanda kehidupan. ‘’Ini
hutan bung, bukan kota!’’ Saya bergumam dalam hati. Lha iya la.. Lagian ngapain
pakai ke hutan segala. Huh…kata-kata itu menggoda pikiran dalam hati. Emangnya
gak ada tempat lain untuk bersepeda? Bener juga sih.
Muncul rasa
keder. Berani atau tidak? Saya urungkan untuk menerobos ke belantara Hutan
Lindung Sungai Wain (HLSW) seorang diri. Selain jalan setapak dan agak sulit
dijelajahi dengan sepeda, tujuan ke perut HLSW harus jelas. Disamping itu
memang harus ada izin dari Badan Pengelola HLSW.
Direktur Badan
Pengelola HLSW Purwanto suatu ketika sebenarnya pernah mengajak saya bersama
rekan-rekan jurnalis untuk masuk ke perut HLSW, tapi disarankan waktu malam
hari. Lho kok malam? ‘’Kalau malam bagus mas. Ada pemandangan indah. Kita bisa
melihat tumbuhan hutan yang mekar dan mengeluarkan cahaya dari zat fosfor,’’
ujarnya dalam suatu perbincangan. Di
dalam hutan ini ada posko Camp Djamaluddin yang terbuat serba kayu ulin, nama
ini diabadikan dari nama pejabat di Kementerian Kehutanan kala itu. Sampai
sekarang, keinginan menerobos HLSW malam hari itu belum juga terwujud. Tak
apalah.
|
Jalanan masuk ke HLSW |
Gowes minggu
pagi masuk ke dalam HLSW itu praktis saya urungkan. Lagian ada tanda-tanda
mendung di langit. Saya pikir, cukup di
pinggirannya sajalah. Yang penting bersepeda menikmati udara pagi di sekitar
HLSW sudah kesampaian.
Bila di
tempuh dari titik nol bundaran Muara Rapak Jalan Soekarno-Hatta, lokasi HLSW
terletak di Km 15, belok ke arah kiri. Dari sini masuk ke dalam menempuh jarak
sekitar 9 kilometer. Perjalanan bersepeda ke HLSW di wilayah Kelurahan Karang
Joang ini lumayan mengasikkan. Selain itu medan yang ditempuh melulu beraspal,
jadi tak ada kendala. Begitu mulai memasuki lokasi HLSW baru bertemu dengan
jalanan kurang sempurna. Seperti makadam dengan bebatuan.
|
Sekitar Hutan Lindung dipagar |
Di ujung
jalan kita akan jumpai Pusat Informasi HLSW. Banyak hal yang bisa kita dapatkan
di tempat ini. Kebetulan saya bertemu dengan Agung, kawan lama satu kantor. Ia
sudah enam tahun tinggal di sekitar HLSW. ‘’Saya tinggal di gazebo mas bersama
istri,’’ ujarnya pagi itu sembari tukar menukar nomor handphone.
Kami menyita
waktu sejenak untuk ngalorngidul
saling tukar kabar. Dari cerita masa lalu hingga informasi seputar HLSW.
Bahkan, Agung sempat menawarkan investasi ternak ayam potong senilai Rp 360
juta yang lokasinya tak jauh dari situ.
Perjalanan
saya menggowes hanya sampai di Pusat Informasi HLSW, kemudian kembali ke kota.
Lintasan tembus menuju jalan Andi Baso ke Km 13 tak saya tempuh. Mungkin lain
waktu.
Di dekat
Pusat Informasi HLSW ini ada perkampungan warga. Ada juga kompleks Perumahan
Pertamina, karena tak jauh dari situ terdapat reservoir milik Pertamina yang airnya
didistribusikan ke perumahan Pertamina di Gunung Pipa, Kelurahan Karang Joang,
Balikpapan. Air ini disedot dari tanggul Sungai Wain, kemudian disalurkan
melalui pipa sepanjang 25 Km. Sungai Wain ini panjangnya 18.300 meter.
|
Papan pemberitahuan Badan Pengelola HLSW |
Kebetulan saya pernah
melakukan napak tilas menelusuri pipa besar tersebut tahun 2009, keluar masuk
hutan dengan kawan-kawan di Balikpapan Televisi untuk pembuatan film
dokumenter. Jalur pipa yang melintas jalan di Km 13 dan tembus ke Kelurahan
Kariangau dan Karang Joang ini sebenarnya asik juga untuk rute gowes offroad. Banyak rute single track. Kedepannya akan saya agendakan.
Hutan lindung
seluas 10.025 hektar yang merupakan paru-paru kota Balikpapan ini berbatasan
dengan Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Di
sekitar HLSW asik juga bila dijadikan rute sepeda offroad. Namun harus mendapat izin terlebih dahulu. Kira-kira
diizinkan gak ya?
HLSW
dilindungi Peraturan Daerah, karena itu rasanya agak sulit mendengar suara
bising gergaji mesin milik pembalak liar untuk merobohkan batang-batang
pepohonan demi keuntungan pribadi. Ada petugas kehutanan berseliweran di HLSW.
Bila ketahuan menebang, akan repot urusannya.
|
Sungai Wain tenang tapi berbahaya |
HLSW juga
banyak menyimpan cerita mistik. Agustus 2008 lalu, seorang wanita bule Jindra
Bromova usia 45 tahun tersesat di tengah hutan ini. Ia tertinggal oleh anaknya
yang kebetulan seorang relawan yang sedang melakukan penelitian di HLSW.
Berhari-hari tersesat tak ditemukan, dan akhirnya muncul di pinggiran dekat Pantai
Lango Penajam Paser Utara dalam keadaan fisik yang drop. Selama itu ia hanya mengonsumsi kerang laut. Kejadian itu
sempat memunculkan spekulasi pendapat. Ada yang mengatakan, wanita bule asal Ceko itu disembunyikan
genderowo HLSW. Walahualam.
Ada juga
kejadian nenek Sari, warga sekitar yang tewas disambar buaya di pinggiran
Sungai Wain saat memancing ikan. Sungai ini memang berbahaya karena masih banyak habitat buaya. Padahal pengelola HLSW sudah memasang plang
tulisan Dilarang Memancing.
Masih di
sekitar jalan menuju pusat informasi hutan konservasi ini, juga terdapat Kebun
Raya Balikpapan, yang menjadi hutan pusat penelitian.
Sungai Wain
ini mengingatkan saya ketika berada di pinggir Sungai Rhein di Jerman.
Mirip-mirip namanya. Bedanya, panorama pinggir Sungai Rhein sangat indah.
Sedangkan di Sungai Wain, banyak buayanya…(Lho, ga nyambung ya?)
|
Pusat Informasi di HLSW |
Yang pasti,
Hutan Lindung Sungai Wain harus dijaga dan dilestarikan. Termasuk flora dan
fauna di dalamnya. Disinilah terdapat hewan endemik Beruang Madu yang menjadi maskot
kota Balikpapan. Ada juga Macan Dahan, Harimau Tutul, Burung Merak, Rusa
Kuning, Bekantan dan Babi Berjanggut. Selain itu HLSW juga menyimpan
potensi kayu bernilai ekonomis tinggi, seperti kayu Bangkirai (Shorea laevis),
Ulin (Eusideroxylon zwageri), dan Gaharu (Aquilaria malaccensis).
Sebenarnya
tanggungjawab menjaga HLSW ini bukan berada di pundak pemerintah saja, tapi
juga semua unsur masyarakat. Lewat lagu, kami pernah menggarap album berisikan
tembang puja-puji dan sosialisasi HLSW bersama kelompok nyanyi Palm Duo Plus,
kebetulan saya menjadi music director-nya.
Dua diantaranya berjudul Sungai Wain
dan Beruang Madu.
|
Ukiran pohon di gerbang HLSW |
Setelah itu
menyusul album musik pop tingkilan A&R Studio yang salah satu lagunya juga
mempromosikan tentang Hutan Lindung Sungai Wain, seperti lagu Burung Nirwana.
Judul ini digambarkan
oleh penciptanya Oemy Facessly, salah satu unggas yang harus dilindungi di
HLSW. Tapi saya gak pernah melihat wujud Burung Nirwana itu. Bagaimana Bu Oemy
Facessly? Jauh sebelumnya Adji Qomara Hakim dari Samarinda juga mengalbumkan
lagu-lagu tentang HLSW. Termasuk penyanyi balada Ully Sigar Rusady yang
menciptakan lagu tentang Hutan Lindung Sungai Wain.
Nama HLSW ini
susah luntur dari ingatan. Saya pernah punya pengalaman yang unik ketika
menjalankan aktivitas jurnalistik. Waktu itu saya mendapat tugas dari pimpinan
untuk meliput kegiatan aktris terkenal Julia Roberts untuk syuting film
dokumenter tentang orangutan yang lokasinya di HLSW, berjudul In the Wild: Orangutan with Julia Roberts
tahun 1998.
Saya
bersemangat memburunya hingga ke HLSW. Tak sempat berjumpa dengan artis
berhidung bangir itu, mobil kijang merah maron yang ditumpanginya berselisihan
persis di jalan masuk HLSW. Mereka keluar, saya masuk. Tak mau kehilangan akal.
Mobil Julia Roberts saya buntuti hingga ke Hotel Dusit Inn Balikpapan (sekarang
Hotel Le Grandeur) tempat ia menginap.
|
Mampir di Kebun Raya Balikpapan |
Persis di
depan lobi, saya turun duluan dari mobil, dan langsung memasang ancang-ancang
dengan kamera kebanggaan, Cannon jadul. Kamera langsung saya arahkan ke Julia
Roberts yang berjalan menuju lobi hotel. Tapi apa lacur! Tiba-tiba lensa kamera
saya ditutupi oleh sepatu sejenis dokmart milik bodyguard Julia Roberts. Pria berambut panjang dikuncir itu
memegang leher saya. Lantas menghalangi dan menggiring saya menjauh dari sang
artis.
Dia
memberikan isyarakat, separo berteriak.
‘’Anda jangan difoto! Harus bayar 5 ribu dolar! Satu foto!’’ Alamak!!!
Yang bener aja brur!
Kemudian
saya berontak berusaha melepaskan diri dari pegangan erat sang bodyguard. Julia Roberts terus
menghindar dan lari bersembunyi di dalam toilet lobi hotel. Saya menunggunya.
Sampai pada akhirnya pihak hotel memohon pengertian untuk tidak mengganggu
tamunya. Okey deh. Julia Roberts pikir waktu
itu saya paparazi apa? Huh, si Pretty
Women.
|
Pelawan Park di Kebun Raya Balikpapan |
Belakangan
setelah film dokumenter itu beredar, ternyata pria berambut kuncir itu adalah
sutradara dari Tiger Production, yang
menggarap film orangutan di HLSW itu. Oalah byung, sempat kesel nih. Capek deh.
Meski tak dapat
mengambil langsung fotonya, kami juga mendapatkan foto ekskusif Julia Roberts
dan aktivitas orangutannya saat berada di Camp Djamaluddin. Ini berkat bantuan
Willy Smith, aktivitas lingkungan pendiri BOS (Balikpapan Orangutan Society) yang asal Belanda. (*)