Sabtu, 27 Oktober 2012

Mendung di Hutan Lindung


Tujuan gowes kali ini adalah Hutan Lindung Sungai Wain. Wisata alam hutan tropis di sebelah utara Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Tak ada keramaian disana, hanya sepi merajut padat hijau dedaunan. Batang-batang pohon besar menjulang kokoh. Satu atau dua di antaranya tampak kering, ujungnya bekas terbakar petir.

Pintu masuk Hutan Lindung
Suasana hening menyambut pagi itu. Hanya terdengar suara binatang-binatang kecil dari kejauhan, nyaris tak melihatkan wujudnya. Sinar matahari pagi menerobos dedaunan, memaksa menyebarkan cahayanya di antara rimbun pepohonan. Embun di pelepah pun perlahan mengering.

Suasana sekitar memang benar-benar sepi. Seperti tak ada tanda-tanda kehidupan. ‘’Ini hutan bung, bukan kota!’’ Saya bergumam dalam hati. Lha iya la.. Lagian ngapain pakai ke hutan segala. Huh…kata-kata itu menggoda pikiran dalam hati. Emangnya gak ada tempat lain untuk bersepeda? Bener juga sih.
Muncul rasa keder. Berani atau tidak? Saya urungkan untuk menerobos ke belantara Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) seorang diri. Selain jalan setapak dan agak sulit dijelajahi dengan sepeda, tujuan ke perut HLSW harus jelas. Disamping itu memang harus ada izin dari Badan Pengelola HLSW.

Direktur Badan Pengelola HLSW Purwanto suatu ketika sebenarnya pernah mengajak saya bersama rekan-rekan jurnalis untuk masuk ke perut HLSW, tapi disarankan waktu malam hari. Lho kok malam? ‘’Kalau malam bagus mas. Ada pemandangan indah. Kita bisa melihat tumbuhan hutan yang mekar dan mengeluarkan cahaya dari zat fosfor,’’ ujarnya dalam suatu perbincangan.  Di dalam hutan ini ada posko Camp Djamaluddin yang terbuat serba kayu ulin, nama ini diabadikan dari nama pejabat di Kementerian Kehutanan kala itu. Sampai sekarang, keinginan menerobos HLSW malam hari itu belum juga terwujud. Tak apalah.

Jalanan masuk ke HLSW
Gowes minggu pagi masuk ke dalam HLSW itu praktis saya urungkan. Lagian ada tanda-tanda mendung di langit.  Saya pikir, cukup di pinggirannya sajalah. Yang penting bersepeda menikmati udara pagi di sekitar HLSW sudah kesampaian.

Bila di tempuh dari titik nol bundaran Muara Rapak Jalan Soekarno-Hatta, lokasi HLSW terletak di Km 15, belok ke arah kiri. Dari sini masuk ke dalam menempuh jarak sekitar 9 kilometer. Perjalanan bersepeda ke HLSW di wilayah Kelurahan Karang Joang ini lumayan mengasikkan. Selain itu medan yang ditempuh melulu beraspal, jadi tak ada kendala. Begitu mulai memasuki lokasi HLSW baru bertemu dengan jalanan kurang sempurna. Seperti makadam dengan bebatuan.

Sekitar Hutan Lindung dipagar
Di ujung jalan kita akan jumpai Pusat Informasi HLSW. Banyak hal yang bisa kita dapatkan di tempat ini. Kebetulan saya bertemu dengan Agung, kawan lama satu kantor. Ia sudah enam tahun tinggal di sekitar HLSW. ‘’Saya tinggal di gazebo mas bersama istri,’’ ujarnya pagi itu sembari tukar menukar nomor handphone.

Kami menyita waktu sejenak untuk ngalorngidul saling tukar kabar. Dari cerita masa lalu hingga informasi seputar HLSW. Bahkan, Agung sempat menawarkan investasi ternak ayam potong senilai Rp 360 juta yang lokasinya tak jauh dari situ.
Perjalanan saya menggowes hanya sampai di Pusat Informasi HLSW, kemudian kembali ke kota. Lintasan tembus menuju jalan Andi Baso ke Km 13 tak saya tempuh. Mungkin lain waktu.
Di dekat Pusat Informasi HLSW ini ada perkampungan warga. Ada juga kompleks Perumahan Pertamina, karena tak jauh dari situ terdapat reservoir milik Pertamina yang airnya didistribusikan ke perumahan Pertamina di Gunung Pipa, Kelurahan Karang Joang, Balikpapan. Air ini disedot dari tanggul Sungai Wain, kemudian disalurkan melalui pipa sepanjang 25 Km. Sungai Wain ini panjangnya 18.300 meter.

Papan pemberitahuan Badan Pengelola HLSW
Kebetulan saya pernah melakukan napak tilas menelusuri pipa besar tersebut tahun 2009, keluar masuk hutan dengan kawan-kawan di Balikpapan Televisi untuk pembuatan film dokumenter. Jalur pipa yang melintas jalan di Km 13 dan tembus ke Kelurahan Kariangau dan Karang Joang ini sebenarnya asik juga untuk rute gowes offroad. Banyak rute single track. Kedepannya akan saya agendakan.

Hutan lindung seluas 10.025 hektar yang merupakan paru-paru kota Balikpapan ini berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Di sekitar HLSW asik juga bila dijadikan rute sepeda offroad. Namun harus mendapat izin terlebih dahulu. Kira-kira diizinkan gak ya?

HLSW dilindungi Peraturan Daerah, karena itu rasanya agak sulit mendengar suara bising gergaji mesin milik pembalak liar untuk merobohkan batang-batang pepohonan demi keuntungan pribadi. Ada petugas kehutanan berseliweran di HLSW. Bila ketahuan menebang, akan repot urusannya.

Sungai Wain tenang tapi berbahaya
HLSW juga banyak menyimpan cerita mistik. Agustus 2008 lalu, seorang wanita bule Jindra Bromova usia 45 tahun tersesat di tengah hutan ini. Ia tertinggal oleh anaknya yang kebetulan seorang relawan yang sedang melakukan penelitian di HLSW. Berhari-hari tersesat tak ditemukan, dan akhirnya muncul di pinggiran dekat Pantai Lango Penajam Paser Utara dalam keadaan fisik yang drop. Selama itu ia hanya mengonsumsi kerang laut. Kejadian itu sempat memunculkan spekulasi pendapat. Ada yang mengatakan,  wanita bule asal Ceko itu disembunyikan genderowo HLSW. Walahualam.

Ada juga kejadian nenek Sari, warga sekitar yang tewas disambar buaya di pinggiran Sungai Wain saat memancing ikan. Sungai ini memang berbahaya karena masih banyak habitat buaya. Padahal pengelola HLSW sudah memasang plang tulisan Dilarang Memancing.
Masih di sekitar jalan menuju pusat informasi hutan konservasi ini, juga terdapat Kebun Raya Balikpapan, yang menjadi hutan pusat penelitian.

Sungai Wain ini mengingatkan saya ketika berada di pinggir Sungai Rhein di Jerman. Mirip-mirip namanya. Bedanya, panorama pinggir Sungai Rhein sangat indah. Sedangkan di Sungai Wain, banyak buayanya…(Lho, ga nyambung ya?)

Pusat Informasi di HLSW
Yang pasti, Hutan Lindung Sungai Wain harus dijaga dan dilestarikan. Termasuk flora dan fauna di dalamnya. Disinilah terdapat hewan endemik Beruang Madu yang menjadi maskot kota Balikpapan. Ada juga Macan Dahan, Harimau Tutul, Burung Merak, Rusa Kuning, Bekantan dan Babi Berjanggut. Selain itu HLSW juga menyimpan potensi kayu bernilai ekonomis tinggi, seperti kayu Bangkirai (Shorea laevis), Ulin (Eusideroxylon zwageri), dan Gaharu (Aquilaria malaccensis).
Sebenarnya tanggungjawab menjaga HLSW ini bukan berada di pundak pemerintah saja, tapi juga semua unsur masyarakat. Lewat lagu, kami pernah menggarap album berisikan tembang puja-puji dan sosialisasi HLSW bersama kelompok nyanyi Palm Duo Plus, kebetulan saya menjadi music director-nya. Dua diantaranya berjudul Sungai Wain dan Beruang Madu.

Ukiran pohon di gerbang  HLSW
Setelah itu menyusul album musik pop tingkilan A&R Studio yang salah satu lagunya juga mempromosikan tentang Hutan Lindung Sungai Wain, seperti lagu Burung Nirwana.

Judul ini digambarkan oleh penciptanya Oemy Facessly, salah satu unggas yang harus dilindungi di HLSW. Tapi saya gak pernah melihat wujud Burung Nirwana itu. Bagaimana Bu Oemy Facessly? Jauh sebelumnya Adji Qomara Hakim dari Samarinda juga mengalbumkan lagu-lagu tentang HLSW. Termasuk penyanyi balada Ully Sigar Rusady yang menciptakan lagu tentang Hutan Lindung Sungai Wain.
Nama HLSW ini susah luntur dari ingatan. Saya pernah punya pengalaman yang unik ketika menjalankan aktivitas jurnalistik. Waktu itu saya mendapat tugas dari pimpinan untuk meliput kegiatan aktris terkenal Julia Roberts untuk syuting film dokumenter tentang orangutan yang lokasinya di HLSW, berjudul In the Wild: Orangutan with Julia Roberts tahun 1998.

Saya bersemangat memburunya hingga ke HLSW. Tak sempat berjumpa dengan artis berhidung bangir itu, mobil kijang merah maron yang ditumpanginya berselisihan persis di jalan masuk HLSW. Mereka keluar, saya masuk. Tak mau kehilangan akal. Mobil Julia Roberts saya buntuti hingga ke Hotel Dusit Inn Balikpapan (sekarang Hotel Le Grandeur) tempat ia menginap.

Mampir di Kebun Raya Balikpapan
Persis di depan lobi, saya turun duluan dari mobil, dan langsung memasang ancang-ancang dengan kamera kebanggaan, Cannon jadul. Kamera langsung saya arahkan ke Julia Roberts yang berjalan menuju lobi hotel. Tapi apa lacur! Tiba-tiba lensa kamera saya ditutupi oleh sepatu sejenis dokmart milik bodyguard Julia Roberts. Pria berambut panjang dikuncir itu memegang leher saya. Lantas menghalangi dan menggiring saya menjauh dari sang artis. 

Dia memberikan isyarakat, separo berteriak.  ‘’Anda jangan difoto! Harus bayar 5 ribu dolar! Satu foto!’’ Alamak!!! Yang bener aja brur!
Kemudian saya berontak berusaha melepaskan diri dari pegangan erat sang bodyguard. Julia Roberts terus menghindar dan lari bersembunyi di dalam toilet lobi hotel. Saya menunggunya. Sampai pada akhirnya pihak hotel memohon pengertian untuk tidak mengganggu tamunya. Okey deh.  Julia Roberts pikir waktu itu saya paparazi apa? Huh, si Pretty Women.

Pelawan Park di Kebun Raya Balikpapan
Belakangan setelah film dokumenter itu beredar, ternyata pria berambut kuncir itu adalah sutradara dari Tiger Production, yang menggarap film orangutan di HLSW itu. Oalah byung, sempat kesel nih. Capek deh.

Meski tak dapat mengambil langsung fotonya, kami juga mendapatkan foto ekskusif Julia Roberts dan aktivitas orangutannya saat berada di Camp Djamaluddin. Ini berkat bantuan Willy Smith, aktivitas lingkungan pendiri BOS (Balikpapan Orangutan Society) yang asal Belanda. (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar