Selasa, 25 Maret 2014

Tersengal-sengal Lalu Terjungkal


Rombongan RGC di sekitar lokasi pembangunan CBD sebelum menerabas jalur offroad.
Agenda Rabu Gowes Community (RGC) Kaltim Post, Rabu (5/2) mengambil start-finish di area parkir Central Business District (CBD), Jl Manuntung No. 2 Kelurahan Sepinggan Balikpapan (depan Dome). Rute yang dijajal kumpulan komunitas sore itu lumayan memeras keringat.

PUKUL 16.45 Wita sebagian peserta RGC sudah berkumpul di parkiran CBD dengan tunggangannya masing-masing. Satu persatu peserta datang. Ada yang menggowes dari rumah dan kantor, ada juga yang datang dengan kendaraan roda empat.

Kami disambut Presiden Direktur CBD Balikpapan Suyanto Chandra, Operasional Director CBD Ronny LHDA, dan Deputy Director CBD Ihya Nasution. Terlibat bincang-bincang kecil, Direktur Kaltim Post Tatang Setyawan, manager iklan Syarifuddin Sariman, dan leader RGC Prihandoyo. Ronny LHDA yang juga sesepuh RGC sore itu tak ikut gowes.

Rute offroad membutuhkan stamina
Sebelum start, peserta RGC lebih dulu foto bareng. Ini kebiasaan wajib kami untuk sekadar narsis di koran. Setelah itu gowes dimulai pukul 17.00 Wita. Seperti biasa, leader Prihandoyo yang akrab dipanggil Pak Yoyok berada di urutan paling depan. Ia memimpin iring-iringan limapuluhan pegiat sepeda gunung ini.
Kemana jalurnya? Rute offroad yang menantang. Ya, ini memang sudah menjadi ciri khas peserta RGC saban Rabu sore. Trek yang dilintasi kali ini adalah sebagian dari rute Jambore Sepeda Nasional gawe Kaltim Post dan Le Grandeur 24 November 2013 lalu, yang juga finish-nya di CBD. Perusahaan properti di bawah payung MGM Land  ini sudah kesekian kalinya menjadi host Rabu Gowes. 


Penggowes sore itu diawali dengan mencicipi tanjakan on road di Jl Praja belakang SMA 5, kemudian disusul tanjakan kedua arah menuju perumahan PT HER. Mantap! Di dua tanjakan ini peserta sudah mengeluarkan keringat jagung. Sesampai di atas bukit nafas pun sudah tersengal-sengal. Sebagian buru-buru menenggak air bekalnya. Tapi tak mengapa. Ini baru loading awal. Masih ada trek menantang yang lebih menguji andrenalin.
Selepas tanjakan PT HER, barulah bubuhan RGC main-main di  full offroad. Menyenangkan. Ada yang memancal cepat sepedanya, ada juga yang medium dan agak nyantai. Yang penting beriringan dan sampai pada waktunya.
Mengikuti naluri, bila ada jalur offroad yang lumayan menantang, selalu saja ada sebagian peserta yang mengambil rute alternatif untuk memperpendek jarak. Lagi-lagi tak masalah. Ini sudah menjadi kesepakatan tak tertulis, artinya bagi yang kurang fit boleh mengambil jalan pintas.
Cilakanya, “potong jalan” yang diambil kawan-kawan divisi iklan Kaltim Post sore itu sedikit mengecoh. Dipandu Hengky Kawan Bike, rombongan kecil ini malah tersesat. Termasuk di antaranya Direktur Kaltim Post Tatang Setiawan. Meski tersesat, mereka malah tertawa-tawa.


Semangat di tanjakan single track
Sementara di rombongan depan seperti cuek, tak toleh ke belakang. Terus memacu sepedanya. Cepat. Persis di persimpangan jalan di atas bukit, rombongan laju ini berhenti sejenak menunggu kawan-kawan berikutnya. Jeda lima menit, ramai-ramai kembali menggowes. Melewati tanjakan demi tanjakan, peluh tak kompromi lagi, terus membasahi jersey masing-masing.
Ada juga jalur makadam dan single track yang mesti memperlambat kecepatan sepeda. Lumayan untuk cooling down. Syukurnya sore itu cuaca sangat bersahabat. Andaisaja hujan --atau sehari sebelumnya hujan--, bakalan gawat. Rute-rute ini sulit digowes lantaran tanah liat menjadi goyor, alias lumpur. Ban sepeda pontensi jadi “donat”. Tapi itu tak terjadi. Yang agak merepotkan sore itu, sepanjang rute debu bertebaran. Ini di luar dugaan, peserta pun tak ada yang bawa masker.

Tak lama berselang insiden kecil terjadi. Leader Pak Yoyok terjungkal. Dasyat juga. Ban depan sepeda tertancap di lumpur, sementara ban belakang terangkat ke atas nyaris 90 derajat. Penunggangnya (Pak Yoyok) terpental ke depan. Terbaring, tatapannya ke langit beberapa saat, kemudian bangkit. Pak Yoyok tak langsung berdiri. Ia duduk sebentar, kemudian mengamati anggota tubuhnya. Dengkulnya terluka. Tapi hanya lecet biasa.
Kejadian ini akhirnya memperlambat perjalanan sore itu. Semua peserta terhenti, dan memberikan semangat sang leader. Tapi ada juga yang bercanda. Pak Yoyok memang sedang beradaptasi dengan sepeda Merida-nya yang baru dengan rim ukuran 27,5. “Kayaknya belum selamatan, pantas saja terjungkal,” canda salah satu peserta. Disambut gerr yang lain.

“Ini kali pertama Pak Yoyok jatuh sejak sepada baru ya?” goda yang lain, dan diiyakan dengan menganggukkan kepala. Dua minggu lalu Yoyok juga sempat mengalami kram kaki. Ini juga bagian dari adaptasi dari rim 26 ke rim 27.5.
Rombongan pun meneruskan perjalanan mengejar petang. Beberapa tanjakan double track yang permukaan tak rata terlewati dengan baik.  Tenaga kawan-kawan terkuras saat menelurusi jalan cor-coran tanjakan beberapa puluh meter yang nyaris berbentuk leter S, ke arah jalan raya. Dan inilah ujian terakhir RGC, tanjakan single track depan Polda Jl Syarifuddin Yoes. Dijamin, bila saja penggowes pemula tak akan lolos melintasi jalur tanjakan ini. Namun hampir semua peserta RGC sempurna melewatinya, meskipun ekspresi wajahnya berbeda-beda.

Yoyok ketika masih pakai rim 26
Lain halnya dengan  Hasbi, branch manager PT Asuransi Takaful Umum. Saat menanjak wajahnya biasa-biasa saja. Goweser dari A-team ini akrab melintasi tanjakan depan Polda itu. Pantas.
Roda sepeda  milik Doddy dari Balikpapan Freeride lebih awal menancap di garis finish. Ia bukan menggenjot dengan MTB, tapi roadbike, alias sepeda balap Cannondale 2014 seberat 8 kg yang baru dari Surabaya. 

Aneh memang. Rute offroad tapi memakai roadbike. Ada-ada saja. “Saya mau coba offroad,’’ katanya singkat. Ya, silahkan.
DI RGC Rabu itu, selain Doddy, Lufti dan Deddy Taufik juga menjajal rute dengan roadbike. “Tembus satu jam,’’ kata Doddy yang juga penggemar downhill ini. Rute yang ditempuh sore hanya sekitar 9 km.

Satu per satu peserta sampai garis akhir dengan wajah letih. Berbeda dengan Junaidi.  Si ‘’macan” tanjakan itu malah standing up dengan roda satu.
Setelah berkumpul di finish bubuhan RGC ini membasahi kerongkongan dan menyantap sajian makanan kecil dari CBD. Sembari rehat sebagian anggota RGC menanyakan keberadaan Yusuf (Ketua KGB). “Mana Pak Yusuf kok belum datang ya?” kata salah seorang kawan.

Ternyata Yusuf datang terakhir. “Ban anak saya bocor, makanya saya nungguin di belakang,’’ ujarnya memberikan alasan. Yang dimaksudnya adalah Lutfi, junior downhill yang hari itu menunggangi roadbike.

Ternyata bukan rombongan Yusuf yang datang terakhir. Ada lagi. Yaitu Latief, dari Blue Bike Community. “Yang penting sampai finish,” selorohnya enteng.
Usai rehat dan mengedarkan absen peserta, kami pun bubar satu persatu kembali ke rumah masing-masing. Sampai jumpa di RGC Rabu depan. “Rencana gowes minggu depan di Hotel Aston, jangan lupa ya,” kata Ocky Muda Saputra dari Blue Bike Community (BBC) mengingatkan. (*)

Maunya Sepeda, di Buku Sepatu



Novel Sepatu Dahlan di etalase
 Sejumlah hal mengenai sepeda dengan segala tetekbengeknya, bagi saya tetap menarik diperbincangkan di blog ini. Tak terkecuali itu Sepeda Dahlan Iskan, konglomerat media yang kini menjadi Menteri BUMN, yang kemunculannya di panggung kabinet ramai diperbincangkan lantaran sepakterjangnya yang sungguh luar biasa.

Kenapa harus sepeda Dahlan Iskan?
Sebenarnya judul ini saya getok-getokan (dikena-kenakan) saja dari judul buku novelis terkenal Chrisna Pabichara berjudul Sepatu Dahlan. Dalam novel setebal 369 halaman itu bercerita kisah-kisah sulit Dahkan Iskan ketika masih kecil, perjuangan seorang anak petani miskin yang menjalani hidup dengan kesederhanaan di masa-masa remaja dan kemudian tumbuh dewasa sebagai manusia yang serba komplit. Novel yang sungguh menarik.

Bila diperhatikan, ilustrasi di cover depan di novel itu gambar  siluet seorang anak dengan sepedanya, serta sepasang sepatu yang digantungkan di stang sepeda. Kalau melihat sampul depan novel ini, lebih pas judulnya mungkin Sepeda Dahlan Iskan (?).
Mungkin Chrisna Pabichara yang terkenal dengan novel kotroversial Mengawini Ibu itu menuliskan kisah Dahlan dengan menggantungkan angle pada sepatu demi kepentingan pasar. Yang kita tahu, penampilan Dahlan Iskan yang selalu identik bersepatu kets putih di mana pun berada. Mungkin begitu.

Dahlan membubuhkan tandatangan di buku
Memang, desain sampul itu otoritas penuh kreativitas desainer. Sekalipun sangat sedikit dalam novel itu bercerita tentang sepeda Dahlan. Yang menarik, dalam buku itu dikisahkan Dahlan mempunyai pengalaman unik. Di lembar 111 hingga 122 buku itu dikisahkan, Dahlan  muda semula tak bisa naik sepeda. Saat pagi berjalan kaki tanpa sepatu ke sekolahnya Pesantren Takeran, ia disapa Maryati, teman cantik sekelasnya yang bersepeda.
Maryati menawarkan duduk di belakang, tapi Dahlan menolak malu.  Gadis berkerudung puteri juragan buah itu akhirnya berbaik hati menemani Dahlan berjalan sembari menuntun sepedanya. 

Berselang cerita akhirnya Dahlan luluh juga dengan tawaran Maryati. Dia pun memberanikan diri memegang setang sepeda, lalu berlari-lari kecil dan kemudian melompat ke sadel. Sementara Maryati berlari di belakangnya.

Salah satu buku Dahlan yang laris
Saat itu Dahlan langsung bisa naik sepeda. Meski lutut bergetar menjaga keseimbangan, ia berteriak kegirangan. Maryati pun bersorak memberi semangat sembari memegangi sadel belakang. Dan tiba-tiba, gadis manis itu melompat duduk di belakang. Dahlan kaget, sepeda oleng dan membanting setang ke kiri lalu menghindari batu. Roda depan tergelicir, sepeda pun meluncur deras ke dalam parit. Basah. Buku-buku berhamburan.
 
Dari lembar ke lembar Trilogi Novel Inspirasi  Dahlan Iskan ini seakan-akan menggiring pembacanya pada kejadian sesungguhnya. Padahal ini novel, karya sastra yang tokoh dan ceritanya fiktif. Sebelum menulis, novelis kelahiran Jeneponto, Sulsel, itu memang melakukan observasi serius tentang hal-hal yang terkait dengan Dahlan Iskan. Termasuk berkunjung ke Samarinda, dimana Dahlan Iskan memulai karier kewartawanannya.
Oh iya, novel Sepatu Dahlan itu juga diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Film Sepatu Dahlan yang diproduseri Rizaludin Kurniawan itu dibintangi Kinaryosih, Donny Damara dan aktor cilik Aji Santosa (pemeran Dahlan kecil), diputar serentak 10 April 2014.

Semakin banyak yang menulis tentang Dahlan
Apa pun dan bagaimana pun, Dahlan adalah sosok yang unik dengan gaya kepemimpinannya. Pola pikir praktis, ketajaman intuisi bisnis, dan eksyen di lapangan untuk memecahkan persoalan menjadi inspirasi banyak orang. Sampai-sampai sederet buku tentang Dahlan Iskan menjadi magnet untuk meramaikan percaturan persaingan pasar buku di sejumlah store books. Bisnis industri buku menggerojok sosok Dahlan Iskan sebagai komoditi layak jual. Sepertinya begitu.

Sebelum Chrisna Pabichara mengemas novel Sepatu Dahlan, sejumlah penulis lain memaparkan tentang sepakterjang mantan Dirut PLN dan mantan chairman Jawa Pos Group itu dalam berbagai versi. Bahkan, penulis Siti Nasyiah yang juga mantan anak buah Dahlan Iskan di media cetak Jakarta, ikut menulis tentang mantan bosnya itu. Judulnya: Dahlan Juga Manusia. Mantan anak buah yang lain, Sholihin Hidayat, juga menulis buku Dahlan Iskan Sang Pendobrak.

Beberapa buku tentang Dahlan Iskan yang sebagian pernah saya baca, di antaranya Ganti Hati, Dua Tangis dan Ribuan Tawa, Leadership ala Dahlan Iskan, Dahlan Iskan Pemimpin yang Happy, serta trilogi novel insipirasi Dahlan Iskan (Sepatu Dahlan, Surat Dahlan, dan Senyum Dahlan). Yang disebut terakhir ini, saya belum membelinya. Sudah terbit atau belum, saya juga belum tahu.

Oh ya, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 tanggal 9 April, saya kesulitan mencari buku-buku Dahlan di toko buku terbesar. Biasanya belasan judul dipajang jelas di gondola, tapi saya tak menemukan sama sekali. Apakah memang ludes, atau ada maksud lain? Entahlah.

Dahlan Iskan dengan sepeda fixed
 Ngomong-ngomong soal beliau (Dahlan), saya punya pengalaman menarik juga ketika Dahlan Iskan mendandani terbitnya koran harian pertama di Kalimantan Timur dari kelompok usaha Jawa Pos Group.  Tapi ini tak ada hubungannya dengan sepeda. Ceritanya begini, saya berjalan kaki dengan Pak Dahlan di suatu subuh 25 tahun silam. Saat itu saya bertugas sebagai kordinator layout (tata letak) di Koran Harian Manuntung (kini namanya Kaltim Post) yang terbit di Balikpapan.
 
Ketika astrolon (master untuk membut koran untuk dicetak) segera diantar ke percetakan di Jl RE Martadinata, kendaraan operasional di kantor sedang tidak ada di tempat lantaran belum kembali untuk mengantar lembar astrolon yang lain.
Pak Dahlan –begitu biasa kami memanggil—selalu tak ingin ada waktu yang terbuang. Ia bergegas untuk segera mengantar astrolon yang segera naik cetak itu ke percetakan yang jaraknya dari kantor di Jl Bhayangkara No. 11 (kini Jl Wiluyo Puspoyudo) ke Jl Martadinata itu sekitar tiga kilometer. Ia mengajak saya untuk berjalan kaki di subuh buta itu untuk segera mengantarkan astrolon. Siap Pak Bos. Jalan Pak Dahlan cepat sekali. Langkahnya agak lebar. Saya agak keteteran mengikuti gerakan kakinya yang optimistis itu, ditemani lolongan anjing ketika melintas di Perkampungan Pelajar Gunung Pasir.

Dahlan Iskan nostalgia dengan istri
 Pengalaman lainnya, ketika Pak Dahlan separo memaksa saya untuk merubah tata letak kantor periklanan Kaltim Post di Jl Jenderal Sudirman 82 Balikpapan yang kebetulan saya dipercaya memimpin divisi tersebut. Suatu pagi menjelang siang Pak Dahlan datang, tengok kiri tengok kanan, kemudian jalan perlahan mengelilingi kantor. Semacam inspeksi gitu. Saya terus mendampinginya.
 
Tiba-tiba dibilang begini: ‘’Kantor ini seperti kantor Transmigrasi ya. Anda tahu kantor Transmigrasi?’’
‘’Tahu Pak,’’ saya jawab sekenanya. Padahal, jujur saya belum pernah ke kantor Transmigrasi. Tapi saya mencoba menangkap maksudnya, tata letak kantor ini kurang menarik.

Selintas kemudian ia memerintahkan saya dan kawan-kawan untuk merubah tata letak kantor yang serba biru dan penuh dengan gambar-gambar poster yang menurut kami menarik, tapi tidak bagi Pak Dahlan. ‘’Cabut semua gambar ini, biar bersih. Cukup satu gambar saja,’’ sarannya lagi.

Tak sampai sepuluh menit ketika Dahlan pergi melanjutkan perjalanannya ke Surabaya, saya langsung bergerak cepat merubah tata letak kantor tersebut. Ada rasa lega.
Sampai sekarang saya bertanya, kenapa ya disebut kantor Transmigrasi?
Setelah membaca novel, dan sejumlah buku-buku tentang Dahlan Iskan maupun tulisannya di media Jawa Pos Group yang terbit seantero Nusantara, baru saya tahu kalau Pak Bos ini sangat paham dengan dunia perkebunan. Pokoknya banyak hal tentang pertanian-lah. Karenanya, tak heran ketika itu ia menyebut seperti ‘’Kantor Transmigarasi’’. Kantor transmigrasi itu kan dekat dengan proyek-proyek pertanian dan sejenisnya. Kira-kira begitu dugaan saya, mudah-mudahan gak salah. Atau malah hampir benar. (*)

Senin, 24 Maret 2014

Uji Mendaki Bukit



Perjalanan offroad menantang yang mengasikkan
Puluhan kilometer jalur offroad berhasil ditaklukkan para goweser Balikpapan. Menerjang terik matahari, lalu melintasi setapak, kebun petani, perkampungan penduduk, hingga menerobos rindang hutan dan padang savana.

KAMI berkumpul di parkiran Balikpapan Sport and Convention Center (BSCC) alias Dome, Jl Ruhuy Rahayu, Balikpapan, Minggu (23/2). Pukul tujuh kurang sebagian besar peserta sudah siap dengan tunggangannya masing-masing.

Sebelum memulai gowes bareng absen peserta satu persatu, dikoordinir langsung oleh Prihandoyo leader Rabu Gowes Community (RGC) Kaltim Post. “Absen dulu. Setelah itu kita berdoa menurut keyakinan masing-masing,” ujar Yoyok –panggilan akrab Direktur CV Deccormed itu semenit sebelum gowes digeber.

Yoyok memberikan arahan sebelum gowes
 Tujuan gowes kali ini adalah menjelajahi jalur offroad yang membentang di wilayah Kelurahan Sepinggan hingga Kelurahan Manggar. Tujuan akhirnya tambak ikan bandeng di sekitar Sungai Manggar. Jaraknya tak kelewat panjang, hanya sekira 22 kilometer lebih. Namun enerji yang diperlukan untuk mencapai kesana, lumayan juga. Disinilah kami menguji ketahanan untuk menaklukan tantangan jalan-jalan berbukit.
  
Jumlah peserta yang tercatat ada 40 orang, kebanyakan adalah goweser sejati! Karena itu, kemampuan teknik dan daya tahan mereka tak perlu diragukan.

Digeber tanjakan panjang
  
Sebagian besar peserta memang penggila mountainbike dengan rentang usia antara 30 hingga 70 tahun. Yang tertua Haji Alamak (72). Peserta gowes ini datang dari komunitas A-Team, Baik Baik Saja (BBS) Community, LG (Le Grandeur), BFR, Blue Bike Community (BBC), Uno’s Gowes, Mud Hog, dan GSS.
Cuaca pagi itu bersahabat, cerah. Iring-iringan goweser ini dimulai dari parkiran Dome, kemudian ke arah Jl Praja Bakti, depan SMP 18, lalu ke perumahan PT HER. Tanjakan “selamat datang” di belakang SMP 18 sebagai “sarapan pagi”. Mulai terdengar desah ngos-ngosan nafas peserta, lalu mengundang butiran keringat. Inilah loading pertama bubuhan MTB pagi itu.

Trek tanah liat menguras engerji
 Loading kedua adalah tanjakan menuju perumahan Her Mandiri. Dua jalan berbukit onroad ini tak menjadikan para peserta keteteran. Memang ada dua peserta yang agak kedodoran. Namun semua peserta setia menanti di bukit dekat sirkuit motocross.
Rehat sekian menit sembari menenggak bekal minum, kami pun berkumpul kembali. Mengecek kelengkapan sepeda masing-masing, setelah itu go…

FULL RUTE OFFROAD
Dari tanjakan PT HER ini, kami mulai menapaki jalur offroad tanah liat. Melewati perumahan penduduk, kebun warga, mendaki setapak, lalu menyusuri bukit-bukit kecil. Juga melintas jembatan ulin, sampai rute-rute single track yang tak memungkinkan memacu cepat sepeda.
Rehat sebentar di pertengahan jalan

Dari awal memang kami sepakati, rombongan ini tetap utuh dalam kesatuan. Jadi tidak ada yang saling tinggal. Tiga sweeper Hengky Kawan Bike, Bolang A-Team dan Sanuri BBS tetap setia mengawal peserta dari belakang.

Jalur double track mendominasi perjalanan kami selama di Kelurahan Sepinggan, karenanya tak kelewat sulit menggowes. Sebagian jalur yang dilintasi ini adalah rute Jambore Sepeda Nasional 2013 lalu. Jadi cukup familiar.

Tuntunbike tak dapat dihindari

Tanjakan demi tanjakan juga dilewati dengan sempurna oleh peserta, sekalipun beberapa diantaranya bersepeda fullsus dan wheelset 27,5. Hanya satu dua goweser yang harus mendorong sepedanya. Tak masalah, tetap ditunggu sampai di atas.
 
JALUR TOL
Menempuh sekira delapan kilometer, matahari pagi mulai meninggi. Kami berada di persimpangan jalan. Pilihan ada dua, ke kiri atau ke kanan. Kami pilih ke kanan, jalan tembus menuju Kelurahan Manggar. Juga perpaduan double track menanjak dan single track menurun. Melantas rindang hutan, lalu keluar masuk perkampungan di Kelurahan Manggar.

Hambatan baru datang ketika jembatan ulin menuju arah TPA Manggar ternyata rusak. Ini diketahui setelah Umar Baki dari BBC lebih dulu jalan di depan. “Untuk mencapai ujung jembatan saja sulit, benar-benar terputus,” ujar manager IT Kaltim Post ini. 

Terik matahari memancing dehidrasi
 Padahal, ketika melintasi jalur yang sama tahun lalu bersama BCC (Balikpapan Cycling Community), jembatan ulin ini berfungsi baik. Ada keinginan untuk tetap melewati sungai dengan memikul sepeda, namun niat itu urung.
Pilihannya adalah memintas. Ini disarankan penduduk setempat. Akhirnya kami melewati jalur alternatif itu persis di belakang Manggar Sari, perkampungan yang heboh kembali lantaran masih ada praktik prostitusi liar. Tapi kami tak mempedulikan hal itu, tetap saja menggowes mendaki, mengarah ke pembangunan Jalan Tol.

Jalan Tol Manggar ini tembus ke Km 13 Jl Soekarno-Hatta. Kami melewatinya. Syukurnya, tanah liat di sekitar jalan itu memadat oleh roda alat berat proyek. Lewat jalur bekas lintasan ban besar itulah goweser memancal sepedanya. Andai saja hujan, kami bakal menghadapi kesulitan beruntun. 

Buah elai menggoda, meski mentah
 Jalur panjang dengan lebar sekitar 50 meter itu kami jelajahi. Terik matahari menyengat tak menggugurkan semangat para pegiat sepeda gunung ini. Terus saja menggowes. Namun pada pertengahan jalan diputuskan berhenti mengayuh. Dehidrasi mulai menyerang, rata-rata pesepeda membasahi kerongkongan sembari menunggu peserta yang tiba belakangan.
 
Melewati sejumlah tanjakan berkelok, dua kawan kami sempat tercecer di belakang lantaran diserang kram kaki. “Saya sudah lama gak latihan,” tukas peserta yang bekerja di lokasi tersebut.

Sembari menunggu kami berteduh di bawah pohon rindang. Ini pohon apa ya? Pohon durian. “Bukan, pohon Elai,”  celetuk seorang rekan. Benar. Di bawah pohon ini ada lima buah yang terjatuh. Biasanya, Elai yang gugur tersebut sudah saatnya masak, dan bisa dikonsumsi.
Sejenak di rimbun hutan

Karena rasa penasaran, akhirnya beberapa buah kulit berduri itu dibuka dengan cara dibanting sana, banting sini. Selebihnya dipukul dengan kayu agar terbuka. Setelah belahan terkuak, ramai-ramai menyantap isinya.  Sudah masak? Belum. Ini benar-benar Elai mentah, aromanya pun tak tercium. Tapi tetap saja dicicipi peserta. “Dari pada kepuhunan,” kata sebagian mereka sembari berkelakar.

RD PATAH
Perjalanan kemudian dilanjutkan. Rute-rute double track menguras enerji di sekitar TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Manggar tak mematahkan antusias. Dari sini tak seberapa jauh ke lokasi tambak ikan bandeng.

Obstacle menantang
 Jalan menuju tambak lumayan mengasikkan. Ada juga tikungan yang memerlukan technical. Andrenalin goweser pun kian terpacu untuk segera capai tujuan. Malah ada yang terpancing memacu cepat sepedanya.
Dua kawan kami, Slamet dan Sanuri saling kejar-kejaran di sekitar padang savana itu. Melewati rintangan medan pasir, obstacle, jalan menurun dan tanjakan makadam yang sarat dengan batu laterit berwarna karat.

Mendekati tambak, ada rintangan kecil. Yaitu jalan menurun yang mengisyaratkan sepeda dipikul. Tapi tidak bagi  tiga goweser, Sanuri, Slamet dan Imansyah. Mereka tetap saja nekat meluncur, meskipun sederet obstacle sekira belasan senti menghadang. 
Memerlukan technical individu

Tapi apa lacur? RD (Rear Derailleur) sepeda Sanuri patah. Part pemindah gir belakang ini copot, otomatis rantai tak bisa berfungsi.  “Sepertinya tersangkut patok ulin,” ujar Sanuri yang pengusaha percetakan tersebut.

Syukurnya tambak tujuan kami sudah dekat hanya berkisar 500an meter. Sepeda Sanuri pun harus “disulap” oleh Hengky Kawan Bike menjadi single gear. Tak apa, yang penting masih bisa dipakai.

Selain harus melewati jembatan dan memikul sepeda, peserta juga harus ekstra hati-hati ketika melewati pematang empang. Jalan harus satu persatu. Kalau tidak hati-hati, niscaya bisa tergelincir.

RD Sanuri patah, risiko goweser
 Akhirnya kami sampai di tujuan, berhasil menandaskan rute menantang. Sampai di tambak pukul 9.40 Wita. Di tempat ini sudah menunggu Retno S Palupi, PR manager Hotel Le Grandeur.
 
Istirahat sejenak menikmati semilir angin, sambil memandang luas kolam besar membentang. Ada rasa lega. 
Pemandangannya masih alami. Hutan mangrove di sekitarnya seakan tertata. Burung-burung bangau putih tampak menikmati habitatnya. Tak terasa keringat yang membasahi jersey mulai mengering di badan.

Bercengkerama seraya menepis dahaga, kami saling diskusi seputar perjalanan. Setelah itu mulailah acara yang ditunggu-tunggu, makan siang bareng di bale-bale tepi tambak.
Bandeng segar yang dipanggang jadi santapan kami, plus lalapan kemangi dan sambal tomat penggugah selera. Lahap. Sebenarnya belum waktunya makan siang, namun peserta digoda rasa tak sabar, karena memang belum sarapan pagi. 

Hengky membantu kerusakan sepeda Sanuri
 Para goweser mengaku sungguh menikmati perjalan kali ini. Tapi nanti dulu, tantangan kedua siap-siap menyambut di depan mata. Yaitu perjalanan pulang.
Untuk menghindari letih para peserta yang sebagian besar aktif di Rabu Gowes Community (RGC) Kaltim Post ini, tidak mengambil full jalur offroad lagi.

  Melainkan melewati jalan aspal di TPA Manggar, langsung menuju arah kota dan kembali ke Dome hingga pukul 12.00 Wita. 
Bandeng segar jadi santapan

Total perjalanan pulang-pergi sekitar 45 kilometer. Sebagian kecil peserta kembali dengan roda empat.
Oh ya, bagaimana dengan goweser gaek Haji Alamak? Aman. Kakek usia 72 tahun yang bersepeda setiap hari ini tak mengalami kerepotan. Pukul 12.00 Wita ia pun mencapai Dome. Mantap! (*)