Selasa, 25 Maret 2014

Maunya Sepeda, di Buku Sepatu



Novel Sepatu Dahlan di etalase
 Sejumlah hal mengenai sepeda dengan segala tetekbengeknya, bagi saya tetap menarik diperbincangkan di blog ini. Tak terkecuali itu Sepeda Dahlan Iskan, konglomerat media yang kini menjadi Menteri BUMN, yang kemunculannya di panggung kabinet ramai diperbincangkan lantaran sepakterjangnya yang sungguh luar biasa.

Kenapa harus sepeda Dahlan Iskan?
Sebenarnya judul ini saya getok-getokan (dikena-kenakan) saja dari judul buku novelis terkenal Chrisna Pabichara berjudul Sepatu Dahlan. Dalam novel setebal 369 halaman itu bercerita kisah-kisah sulit Dahkan Iskan ketika masih kecil, perjuangan seorang anak petani miskin yang menjalani hidup dengan kesederhanaan di masa-masa remaja dan kemudian tumbuh dewasa sebagai manusia yang serba komplit. Novel yang sungguh menarik.

Bila diperhatikan, ilustrasi di cover depan di novel itu gambar  siluet seorang anak dengan sepedanya, serta sepasang sepatu yang digantungkan di stang sepeda. Kalau melihat sampul depan novel ini, lebih pas judulnya mungkin Sepeda Dahlan Iskan (?).
Mungkin Chrisna Pabichara yang terkenal dengan novel kotroversial Mengawini Ibu itu menuliskan kisah Dahlan dengan menggantungkan angle pada sepatu demi kepentingan pasar. Yang kita tahu, penampilan Dahlan Iskan yang selalu identik bersepatu kets putih di mana pun berada. Mungkin begitu.

Dahlan membubuhkan tandatangan di buku
Memang, desain sampul itu otoritas penuh kreativitas desainer. Sekalipun sangat sedikit dalam novel itu bercerita tentang sepeda Dahlan. Yang menarik, dalam buku itu dikisahkan Dahlan mempunyai pengalaman unik. Di lembar 111 hingga 122 buku itu dikisahkan, Dahlan  muda semula tak bisa naik sepeda. Saat pagi berjalan kaki tanpa sepatu ke sekolahnya Pesantren Takeran, ia disapa Maryati, teman cantik sekelasnya yang bersepeda.
Maryati menawarkan duduk di belakang, tapi Dahlan menolak malu.  Gadis berkerudung puteri juragan buah itu akhirnya berbaik hati menemani Dahlan berjalan sembari menuntun sepedanya. 

Berselang cerita akhirnya Dahlan luluh juga dengan tawaran Maryati. Dia pun memberanikan diri memegang setang sepeda, lalu berlari-lari kecil dan kemudian melompat ke sadel. Sementara Maryati berlari di belakangnya.

Salah satu buku Dahlan yang laris
Saat itu Dahlan langsung bisa naik sepeda. Meski lutut bergetar menjaga keseimbangan, ia berteriak kegirangan. Maryati pun bersorak memberi semangat sembari memegangi sadel belakang. Dan tiba-tiba, gadis manis itu melompat duduk di belakang. Dahlan kaget, sepeda oleng dan membanting setang ke kiri lalu menghindari batu. Roda depan tergelicir, sepeda pun meluncur deras ke dalam parit. Basah. Buku-buku berhamburan.
 
Dari lembar ke lembar Trilogi Novel Inspirasi  Dahlan Iskan ini seakan-akan menggiring pembacanya pada kejadian sesungguhnya. Padahal ini novel, karya sastra yang tokoh dan ceritanya fiktif. Sebelum menulis, novelis kelahiran Jeneponto, Sulsel, itu memang melakukan observasi serius tentang hal-hal yang terkait dengan Dahlan Iskan. Termasuk berkunjung ke Samarinda, dimana Dahlan Iskan memulai karier kewartawanannya.
Oh iya, novel Sepatu Dahlan itu juga diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Film Sepatu Dahlan yang diproduseri Rizaludin Kurniawan itu dibintangi Kinaryosih, Donny Damara dan aktor cilik Aji Santosa (pemeran Dahlan kecil), diputar serentak 10 April 2014.

Semakin banyak yang menulis tentang Dahlan
Apa pun dan bagaimana pun, Dahlan adalah sosok yang unik dengan gaya kepemimpinannya. Pola pikir praktis, ketajaman intuisi bisnis, dan eksyen di lapangan untuk memecahkan persoalan menjadi inspirasi banyak orang. Sampai-sampai sederet buku tentang Dahlan Iskan menjadi magnet untuk meramaikan percaturan persaingan pasar buku di sejumlah store books. Bisnis industri buku menggerojok sosok Dahlan Iskan sebagai komoditi layak jual. Sepertinya begitu.

Sebelum Chrisna Pabichara mengemas novel Sepatu Dahlan, sejumlah penulis lain memaparkan tentang sepakterjang mantan Dirut PLN dan mantan chairman Jawa Pos Group itu dalam berbagai versi. Bahkan, penulis Siti Nasyiah yang juga mantan anak buah Dahlan Iskan di media cetak Jakarta, ikut menulis tentang mantan bosnya itu. Judulnya: Dahlan Juga Manusia. Mantan anak buah yang lain, Sholihin Hidayat, juga menulis buku Dahlan Iskan Sang Pendobrak.

Beberapa buku tentang Dahlan Iskan yang sebagian pernah saya baca, di antaranya Ganti Hati, Dua Tangis dan Ribuan Tawa, Leadership ala Dahlan Iskan, Dahlan Iskan Pemimpin yang Happy, serta trilogi novel insipirasi Dahlan Iskan (Sepatu Dahlan, Surat Dahlan, dan Senyum Dahlan). Yang disebut terakhir ini, saya belum membelinya. Sudah terbit atau belum, saya juga belum tahu.

Oh ya, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 tanggal 9 April, saya kesulitan mencari buku-buku Dahlan di toko buku terbesar. Biasanya belasan judul dipajang jelas di gondola, tapi saya tak menemukan sama sekali. Apakah memang ludes, atau ada maksud lain? Entahlah.

Dahlan Iskan dengan sepeda fixed
 Ngomong-ngomong soal beliau (Dahlan), saya punya pengalaman menarik juga ketika Dahlan Iskan mendandani terbitnya koran harian pertama di Kalimantan Timur dari kelompok usaha Jawa Pos Group.  Tapi ini tak ada hubungannya dengan sepeda. Ceritanya begini, saya berjalan kaki dengan Pak Dahlan di suatu subuh 25 tahun silam. Saat itu saya bertugas sebagai kordinator layout (tata letak) di Koran Harian Manuntung (kini namanya Kaltim Post) yang terbit di Balikpapan.
 
Ketika astrolon (master untuk membut koran untuk dicetak) segera diantar ke percetakan di Jl RE Martadinata, kendaraan operasional di kantor sedang tidak ada di tempat lantaran belum kembali untuk mengantar lembar astrolon yang lain.
Pak Dahlan –begitu biasa kami memanggil—selalu tak ingin ada waktu yang terbuang. Ia bergegas untuk segera mengantar astrolon yang segera naik cetak itu ke percetakan yang jaraknya dari kantor di Jl Bhayangkara No. 11 (kini Jl Wiluyo Puspoyudo) ke Jl Martadinata itu sekitar tiga kilometer. Ia mengajak saya untuk berjalan kaki di subuh buta itu untuk segera mengantarkan astrolon. Siap Pak Bos. Jalan Pak Dahlan cepat sekali. Langkahnya agak lebar. Saya agak keteteran mengikuti gerakan kakinya yang optimistis itu, ditemani lolongan anjing ketika melintas di Perkampungan Pelajar Gunung Pasir.

Dahlan Iskan nostalgia dengan istri
 Pengalaman lainnya, ketika Pak Dahlan separo memaksa saya untuk merubah tata letak kantor periklanan Kaltim Post di Jl Jenderal Sudirman 82 Balikpapan yang kebetulan saya dipercaya memimpin divisi tersebut. Suatu pagi menjelang siang Pak Dahlan datang, tengok kiri tengok kanan, kemudian jalan perlahan mengelilingi kantor. Semacam inspeksi gitu. Saya terus mendampinginya.
 
Tiba-tiba dibilang begini: ‘’Kantor ini seperti kantor Transmigrasi ya. Anda tahu kantor Transmigrasi?’’
‘’Tahu Pak,’’ saya jawab sekenanya. Padahal, jujur saya belum pernah ke kantor Transmigrasi. Tapi saya mencoba menangkap maksudnya, tata letak kantor ini kurang menarik.

Selintas kemudian ia memerintahkan saya dan kawan-kawan untuk merubah tata letak kantor yang serba biru dan penuh dengan gambar-gambar poster yang menurut kami menarik, tapi tidak bagi Pak Dahlan. ‘’Cabut semua gambar ini, biar bersih. Cukup satu gambar saja,’’ sarannya lagi.

Tak sampai sepuluh menit ketika Dahlan pergi melanjutkan perjalanannya ke Surabaya, saya langsung bergerak cepat merubah tata letak kantor tersebut. Ada rasa lega.
Sampai sekarang saya bertanya, kenapa ya disebut kantor Transmigrasi?
Setelah membaca novel, dan sejumlah buku-buku tentang Dahlan Iskan maupun tulisannya di media Jawa Pos Group yang terbit seantero Nusantara, baru saya tahu kalau Pak Bos ini sangat paham dengan dunia perkebunan. Pokoknya banyak hal tentang pertanian-lah. Karenanya, tak heran ketika itu ia menyebut seperti ‘’Kantor Transmigarasi’’. Kantor transmigrasi itu kan dekat dengan proyek-proyek pertanian dan sejenisnya. Kira-kira begitu dugaan saya, mudah-mudahan gak salah. Atau malah hampir benar. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar