Novel Sepatu Dahlan di etalase |
Sejumlah hal mengenai sepeda dengan
segala tetekbengeknya, bagi saya tetap menarik diperbincangkan di blog ini. Tak
terkecuali itu Sepeda Dahlan Iskan, konglomerat media yang kini menjadi Menteri
BUMN, yang kemunculannya di panggung kabinet ramai diperbincangkan lantaran
sepakterjangnya yang sungguh luar biasa.
Kenapa harus
sepeda Dahlan Iskan?
Sebenarnya
judul ini saya getok-getokan
(dikena-kenakan) saja dari judul buku novelis terkenal Chrisna Pabichara
berjudul Sepatu Dahlan. Dalam novel
setebal 369 halaman itu bercerita kisah-kisah sulit Dahkan Iskan ketika masih
kecil, perjuangan seorang anak petani miskin yang menjalani hidup dengan
kesederhanaan di masa-masa remaja dan kemudian tumbuh dewasa sebagai manusia
yang serba komplit. Novel yang sungguh menarik.
Bila
diperhatikan, ilustrasi di cover depan di novel itu gambar siluet seorang anak dengan sepedanya, serta
sepasang sepatu yang digantungkan di stang sepeda. Kalau melihat sampul depan
novel ini, lebih pas judulnya mungkin Sepeda Dahlan Iskan (?).
Mungkin
Chrisna Pabichara yang terkenal dengan novel kotroversial Mengawini Ibu itu
menuliskan kisah Dahlan dengan menggantungkan angle pada sepatu demi kepentingan pasar. Yang kita tahu,
penampilan Dahlan Iskan yang selalu identik bersepatu kets putih di mana pun
berada. Mungkin begitu.
Dahlan membubuhkan tandatangan di buku |
Memang,
desain sampul itu otoritas penuh kreativitas desainer. Sekalipun sangat sedikit
dalam novel itu bercerita tentang sepeda Dahlan. Yang menarik, dalam buku itu dikisahkan
Dahlan mempunyai pengalaman unik. Di lembar 111 hingga 122 buku itu dikisahkan,
Dahlan muda semula tak bisa naik sepeda.
Saat pagi berjalan kaki tanpa sepatu ke sekolahnya Pesantren Takeran, ia disapa
Maryati, teman cantik sekelasnya yang bersepeda.
Maryati
menawarkan duduk di belakang, tapi Dahlan menolak malu. Gadis berkerudung puteri juragan buah itu
akhirnya berbaik hati menemani Dahlan berjalan sembari menuntun sepedanya.
Berselang
cerita akhirnya Dahlan luluh juga dengan tawaran Maryati. Dia pun memberanikan
diri memegang setang sepeda, lalu berlari-lari kecil dan kemudian melompat ke
sadel. Sementara Maryati berlari di belakangnya.
Salah satu buku Dahlan yang laris |
Saat itu
Dahlan langsung bisa naik sepeda. Meski lutut bergetar menjaga keseimbangan, ia
berteriak kegirangan. Maryati pun bersorak memberi semangat sembari memegangi
sadel belakang. Dan tiba-tiba, gadis manis itu melompat duduk di belakang.
Dahlan kaget, sepeda oleng dan membanting setang ke kiri lalu menghindari batu.
Roda depan tergelicir, sepeda pun meluncur deras ke dalam parit. Basah.
Buku-buku berhamburan.
Dari lembar
ke lembar Trilogi Novel Inspirasi Dahlan
Iskan ini seakan-akan menggiring pembacanya pada kejadian sesungguhnya. Padahal
ini novel, karya sastra yang tokoh dan ceritanya fiktif. Sebelum menulis, novelis
kelahiran Jeneponto, Sulsel, itu memang melakukan observasi serius tentang
hal-hal yang terkait dengan Dahlan Iskan. Termasuk berkunjung ke Samarinda,
dimana Dahlan Iskan memulai karier kewartawanannya.
Oh iya,
novel Sepatu Dahlan itu juga diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Film
Sepatu Dahlan yang diproduseri Rizaludin Kurniawan itu dibintangi Kinaryosih,
Donny Damara dan aktor cilik Aji Santosa (pemeran Dahlan kecil), diputar
serentak 10 April 2014.
Semakin banyak yang menulis tentang Dahlan |
Apa pun dan
bagaimana pun, Dahlan adalah sosok yang unik dengan gaya kepemimpinannya. Pola
pikir praktis, ketajaman intuisi bisnis, dan eksyen di lapangan untuk
memecahkan persoalan menjadi inspirasi banyak orang. Sampai-sampai sederet buku
tentang Dahlan Iskan menjadi magnet untuk meramaikan percaturan persaingan
pasar buku di sejumlah store books.
Bisnis industri buku menggerojok sosok Dahlan Iskan sebagai komoditi layak
jual. Sepertinya begitu.
Sebelum
Chrisna Pabichara mengemas novel Sepatu Dahlan, sejumlah penulis lain memaparkan
tentang sepakterjang mantan Dirut PLN dan mantan chairman Jawa Pos Group itu
dalam berbagai versi. Bahkan, penulis Siti Nasyiah yang juga mantan anak buah
Dahlan Iskan di media cetak Jakarta, ikut menulis tentang mantan bosnya itu.
Judulnya: Dahlan Juga Manusia. Mantan anak buah yang lain, Sholihin Hidayat,
juga menulis buku Dahlan Iskan Sang Pendobrak.
Beberapa
buku tentang Dahlan Iskan yang sebagian pernah saya baca, di antaranya Ganti
Hati, Dua Tangis dan Ribuan Tawa, Leadership ala Dahlan Iskan, Dahlan Iskan
Pemimpin yang Happy, serta trilogi novel insipirasi Dahlan Iskan (Sepatu
Dahlan, Surat Dahlan, dan Senyum Dahlan). Yang disebut terakhir ini, saya belum membelinya. Sudah terbit atau belum, saya juga belum tahu.
Oh ya, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 tanggal 9 April, saya kesulitan mencari buku-buku Dahlan di toko buku terbesar. Biasanya belasan judul dipajang jelas di gondola, tapi saya tak menemukan sama sekali. Apakah memang ludes, atau ada maksud lain? Entahlah.
Oh ya, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 tanggal 9 April, saya kesulitan mencari buku-buku Dahlan di toko buku terbesar. Biasanya belasan judul dipajang jelas di gondola, tapi saya tak menemukan sama sekali. Apakah memang ludes, atau ada maksud lain? Entahlah.
Dahlan Iskan dengan sepeda fixed |
Ngomong-ngomong
soal beliau (Dahlan), saya punya pengalaman menarik juga ketika Dahlan Iskan mendandani
terbitnya koran harian pertama di Kalimantan Timur dari kelompok usaha Jawa Pos
Group. Tapi ini tak ada hubungannya
dengan sepeda. Ceritanya begini, saya berjalan kaki dengan Pak Dahlan di suatu
subuh 25 tahun silam. Saat itu saya bertugas sebagai kordinator layout (tata
letak) di Koran Harian Manuntung (kini namanya Kaltim Post) yang terbit di
Balikpapan.
Ketika
astrolon (master untuk membut koran untuk dicetak) segera diantar ke percetakan
di Jl RE Martadinata, kendaraan operasional di kantor sedang tidak ada di
tempat lantaran belum kembali untuk mengantar lembar astrolon yang lain.
Pak Dahlan
–begitu biasa kami memanggil—selalu tak ingin ada waktu yang terbuang. Ia
bergegas untuk segera mengantar astrolon yang segera naik cetak itu ke
percetakan yang jaraknya dari kantor di Jl Bhayangkara No. 11 (kini Jl Wiluyo
Puspoyudo) ke Jl Martadinata itu sekitar tiga kilometer. Ia mengajak saya untuk
berjalan kaki di subuh buta itu untuk segera mengantarkan astrolon. Siap Pak
Bos. Jalan Pak Dahlan cepat sekali. Langkahnya agak lebar. Saya agak keteteran
mengikuti gerakan kakinya yang optimistis itu, ditemani lolongan anjing ketika
melintas di Perkampungan Pelajar Gunung Pasir.
Dahlan Iskan nostalgia dengan istri |
Pengalaman
lainnya, ketika Pak Dahlan separo memaksa saya untuk merubah tata letak kantor
periklanan Kaltim Post di Jl Jenderal Sudirman 82 Balikpapan yang kebetulan
saya dipercaya memimpin divisi tersebut. Suatu pagi menjelang siang Pak Dahlan
datang, tengok kiri tengok kanan, kemudian jalan perlahan mengelilingi kantor.
Semacam inspeksi gitu. Saya terus mendampinginya.
Tiba-tiba
dibilang begini: ‘’Kantor ini seperti kantor Transmigrasi ya. Anda tahu kantor
Transmigrasi?’’
‘’Tahu
Pak,’’ saya jawab sekenanya. Padahal, jujur saya belum pernah ke kantor
Transmigrasi. Tapi saya mencoba menangkap maksudnya, tata letak kantor ini
kurang menarik.
Selintas
kemudian ia memerintahkan saya dan kawan-kawan untuk merubah tata letak kantor
yang serba biru dan penuh dengan gambar-gambar poster yang menurut kami
menarik, tapi tidak bagi Pak Dahlan. ‘’Cabut semua gambar ini, biar bersih.
Cukup satu gambar saja,’’ sarannya lagi.
Tak sampai
sepuluh menit ketika Dahlan pergi melanjutkan perjalanannya ke Surabaya, saya
langsung bergerak cepat merubah tata letak kantor tersebut. Ada rasa lega.
Sampai sekarang
saya bertanya, kenapa ya disebut kantor Transmigrasi?
Setelah
membaca novel, dan sejumlah buku-buku tentang Dahlan Iskan maupun tulisannya di
media Jawa Pos Group yang terbit seantero Nusantara, baru saya tahu kalau Pak
Bos ini sangat paham dengan dunia perkebunan. Pokoknya banyak hal tentang
pertanian-lah. Karenanya, tak heran ketika itu ia menyebut seperti ‘’Kantor
Transmigarasi’’. Kantor transmigrasi itu kan dekat dengan proyek-proyek
pertanian dan sejenisnya. Kira-kira begitu dugaan saya, mudah-mudahan gak
salah. Atau malah hampir benar. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar