Jumat, 20 Juni 2014

Peluh dan Lumpuh


Suatu ketika goweser mountain bike diserang rasa frustasi karena medan yang dilintasi kelewat berat. Tapi itu tak terjadi pada bubuhan RGC (Rabu Gowes Community) Kaltim Post ketika melumat trek seksi di timur Balikpapan. Meski rasa lelah setia menghampiri mereka, api semangat terus membakar dada untuk merampungkan perjalanan ekstrem tak sia-sia di tengah guyur hujan.
Di lokasi Sumur Gas Lamaru 1

MINGGU pagi (1/6) pukul 7.30 Wita, tiga belas anggota Rabu Gowes Community (RGC) berkumpul di bundaran Hotel Le Grandeur, Jl Jenderal Sudirman, Balikpapan. Siap-siap untuk ekstra gowes menuju pantai wisata Ambalat, Kelurahan Amborawang Laut, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara. Rute yang akan ditempuh perpaduan jalur onroad dan offroad.

Pagi itu cuaca tak menyambut keceriaan belasan goweser ini. Mendung di langit kian menggelap pertanda hujan bakal membumi. Kebimbangan melayut di antara kami, apakah jadwal gowes pagi itu dibubarkan atau tetap dilaksanakan?

Sekian detik berlalu rintik hujan pun menyapa. Kami bergeser di bawah pohon, sementara gumpalan mendung di langit terus menghitam. Melunturkan semangat, menciptakan cemas, memancing suasana gamang yang berpotensi membulatkan niat untuk menunda perjalanan. Dan benar, tiga pesepeda lalu berpamitan dan meninggakan kami kembali ke rumah masing-masing. Ternyata bukan tiga saja, dua pegiat lainnya pun tanpa basa-basi menyusul untuk menolak tantangan itu.

Pilihannya hanyalah mendorong
Tinggalah kami berdelapan. Tekad gowes ke Ambalat tetap keras. Meski hujan mulai turun, kami tetap menerobos lalu meniti rute onroad sepanjang 22 Km lebih ke arah timur Balikpapan. Melintas di Jl Jenderal Sudirman, Jl Marsma Iswahyudi, dan Jl Mulawarman dengan tempo kecepatan terjaga 20 km perjam, tak terasa kami sudah berada di ujung jalan Rantau Bakula, Kelurahan Lamaru, Balikpapan Timur, untuk kemudian menjajaki jalan tanah. Dua goweser lainnya memutuskan tetap konsisten di jalur aspal menuju Ambalat.

Dari titik inilah tantangan sesungguhnya akan dilewati, yaitu medan offroad yang kiri-kanan masih hutan. Kami tinggal berenam. Meski tim semakin ramping, namun semangat kian membesar. Tanjakan awal sepanjang 200 meter menyapa dingin, tetap bisa dilewati dengan baik. Tujuan pertama adalah Sumur Gas Lamaru 1. Jaraknya hanya sekira 3 Km, namun tenaga yang dibutuhkan lumayan memeras keringat. Selain tanjakan double track, kontur tanah yang dilewati membuat goweser menambah tenaga ekstra. Pilihannya adalah spin. Pasalnya, selain trek jadi licin, lumpur mulai melekat hebat di roda sepeda, sementara rintik hujan tetap membasahi perjalanan.

Lumpur yang menguras tenaga
Dari sini penjelajahan menantang kami lanjutkan menuju proyek pembangunan sirkuit balap kawasan Teritip. Jalur double track juga, dengan medan berlumpur pula. Goweser mesti hati-hati. Tidak disarankan memacu cepat sepeda. Disamping lumpur yang tebal, tenaga juga mulai menurun. Dehidrasi tak terasakan sebab sekujur tubuh kuyup. Cuaca dingin seperti memaksa tubuh menggigil, tapi kami tetap bertahan mengayuh sepeda meski perlahan.

Tantangan dasyat adalah medan lumpur yang luas di tanah lapang arena pembangunan sirkuit balap. Ini mesti kami lewati, karena tak ada pilihan jalur melantas lainnya untuk memperpendek jarak menuju perkebunan karet. Disinilah tenaga kami benar-benar terkuras. Sepeda tak mungkin digenjot, roda tak mampu berputar baik lantaran terhambat tanah liat yang menggumpal di crankset, fork depan, sprocket, diskbreak, termasuk rantai. Khawatir bila digenjot paksa RD (rear derailleur) terancam bengkok, dan anting bisa patah, risiko. Percuma juga bila lumpur melekat dibersihkan, sebab akan menempel kembali dalam jarak pendek dua tiga meter.

Roda sepeda seperti donat
Akhirnya sepeda harus dipanggul, istilah kerennya portage. Ya dipikul sejauh-jauhnya, sekuat-kuatnya, dan sedapat-dapatnya. Gak mampu memikul, ya diseret pun sah-sah saja. Yang penting sampai ke tempat tujuan. Beruntungnya lima di antara kami menggunakan sepeda hardtail, sedikit mengurangi beban pikul dibanding fullsus.
Saat itu kami benar-benar merasa seperti mau lumpuh. Suer, gak seorang goweser pun mampu melintasi trek berlumpur seperti ini, meskipun ia pembalap MTB kawakan segudang prestasi. Lumpur memang pukulan telak bagi goweser MTB.

Sebenarnya saat itu kami nyaris terancam frustasi dan memutuskan untuk kembali. Namun tanggung, dan terlanjur basah. Percuma juga bila menggerutu. Bukankah energi yang dibutuhkan untuk kembali akan lebih besar? Pilihannya adalah tetap meneruskan perjalanan esktrem ini meski terasa ‘’agak menyiksa’’.

Air sungai membantu membersikan sepeda
Kami harus rehat di sungai kecil sebelum melanjutkan perjalanan ke kebun karet. Lalu telaten membersihkan sepeda dari lumpur hampir satu jam, padahal rasa lapar mulai menusuk perut. Tak ada penawar paten menghangatkan tubuh. Air bekal pun dingin seperti dari lemari es. Kami hanya bisa melamunkan bila di tengah hutan itu ada kedai milik wanita cantik yang menjual teh panas. Tapi itu sungguh mustahil, cepat-cepat saja membuyarkan lamunan bodoh itu.

Beberapa saat setelah membersihkan sepeda di aliran sungai tenaga kami terasa mulai terkumpul kembali, barulah bisa tertawa lepas dan saling canda. Tapi jangan cengar-cengir dulu, perjalanan masih panjang. Tanjakan masih banyak, hedeh. Padahal peluh nyaris mengering di badan.

Perjalanan di sekitar perkebunan karet harus terhenti sejenak lantaran seorang goweser diterjang kram kaki. Alamak, kok bisa sih? Tap gak perlu panik. Badannya kami baringkan ke tanah, lalu kedua telapak kakinya ditekuk ke depan, lalu disemprot pendingin, crot..crot.. kemudian bangkit. Beres sudah, perjalanan pun dilanjutkan. Namun tidak bisa ngotot, iring-iringan sedikit melambat. Apalagi di trek menurun yang licin. Salah menggunakan rem, sudah pasti tergelincir hebat. Hujan masih tumpah meski intensitasnya kian ringan. Langit mulai terang. Kami tetap soft-pedal dengan tenaga tersisa, dengan sabar sesabar-sabarnya. 

Siap melanjutkan perjalanan lewat kebun karet
Rasa lega pun menghampiri ketika tiba di perkampungan Gunung Binjai. Jalan kampung sudah disemenisasi, sangat mudah meluncur. Trek ini mendorong semangat terus memacu untuk segera tiba di Ambalat yang jaraknya tinggal sekira 8 Km dari total kayuhan sekira 45 Km. Tiga perempat waktu perjalanan kami tersedot untuk menaklukkan trek offroad itu.

Titik akhir perjalanan lima jam kami siang itu bukanlah di pantai Ambalat yang menjadi perbatasan Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kota Balikpapan, melainkan di pabrik bata ringan milik seorang anggota RGC yang berada di sekitar jalan masuk tempat wisata tersebut. Disinilah kami rehat dan mengganjal lapar luar biasa dengan ayam bakar yang terasa paling nikmat. 

Waktu terus berlalu menunjukkan pukul 13.00 Wita. Niat untuk gowes kembali ke Balikpapan kami tanggalkan, karena seorang kawan angkat tangan menyerah karena khawatir terancam trauma lutut. Ia perlu relaksasi. Akhirnya kami berenam dievakuasi dengan mobil pick up menuju Balikpapan. Tetap menyimpan rasa puas. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar